[caption id="attachment_187003" align="aligncenter" width="449" caption="foto : freewestpapua.org"][/caption]
Keberhasilan tokoh GAM menjadi Kepala Daerah (Gubernur Aceh) melalui Pemilukada yang demokratis, seperti Irwandi Jusuf maupun penggantinya Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf, setidaknya dapat membuka pikiran para tokoh faksi-faksi pendukung Papua merdeka untuk melibatkan diri dalam proses Pilkada di daerah itu.
Jika para tokoh pendukung Papua merdeka memang memiliki niatan untuk membangun Papua agar bisa lebih maju dan sejahtera, akan lebih strategis jika mereka mau menggunakan hak politik mereka untuk ikut memilih atau dipilih menjadi Gubernur atau Bupati. Itulah yang telah dilakukan oleh para tokoh GAM di Aceh saat ini.
Ketua Fraksi Golkar DPR Papua, Jan Ayomi di Jayapura Senin (7/5/2012) mempertegas tentang hak politik para tokoh OPM itu dengan mengatakan bahwa, mantan Tapol/Napol bahkan pimpinan Organisasi Papua Merdeka (OPM) bisa mencalonkan diri menjadi Gubernur Papua periode 2012-2017. Peluang itu dijamin dengan UU No. 21 Tahun 2001 yang diubah menjadi UU No. 35 Tahun 2008 tentang Otonomi Khusus (Otsus) Papua dan Papua Barat.
“Peluang ini sangat terbuka luas bagi teman-teman mantan Tapol/Napol bahkan pimpinan OPM, tentu dengan prosedur yang sudah diatur dalam UU dan ini sudah dilakukan di Provinsi Aceh, namun kalau mantan narapidana karena kasus pidana umum tentu tidak boleh,” jelas Jan Ayomi.
http://bintangpapua.com/headline/22579-opm-juga-bisa-calonkan-diri
Masih menurut Jan, ada tiga persyaratan khusus yang diatur dalam UU Otsus terkait dengan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur. Ketiga syarat dimaksud adalah : (a). Warga Negara Indonesia putera asli Papua; (b). Mantan Tahanan Politik atau Narapidana Politik; dan (c). Minimal berpendidikan Sarjana atau sederajat.
Apa yang disuarakan oleh wakil rakyat Papua tersebut merupakan hal yang positif, karena setiap warga negara Indonesia, termasuk para mantan Tapol/Napol dan OPM yang berminat membangun Papua dengan cara politik dan Damai, harus dijamin kepentingan dan hak politiknya untuk memilih dan dipilih dalam Pemilukada. Namun demikian, perwujudan hak politik itu harus mengikuti aturan dan norma yang sudah digariskan.
GAM pun sebelum mencapai posisi politiknya seperti saat ini, sudah menempuh prosedur normatif itu. Coba kalau mereka tetap berkeras untuk frontal, belum tentu mereka bisa menjadi Pemimpin di Aceh.
Papua sudah punya Otsus yang telah memungkinkan putra-putra terbaik asli Papua untuk menjadi pemimpin atau kepala daerah di Tanah Papua. Kita lihat saat ini, semua jabatan Bupati, Walikota hingga Gubernur di Papua sudah dipegang oleh putra daerah asli Papua. Tidak ada lagi orang luar.
Hanya saja, mereka yang saat ini menjadi Kepala derah di Papua, adalah tokoh-tokoh yang dianggap “bersih” dari keterlibatannya dalam aktivitas OPM maupun faksi-faksi pendukungnya. Tapi toh, pembangunan belum maju-maju, karena masih sering diganggu oleh kelompok pendukung Papua merdeka. Kalau saja tokoh-tokoh yang berseberangan ideologi ini bisa bergabung dalam satu tujuan, yaitu membangun Papua lebih maju dan lebih sejahtera, saya yakin kemajuan Papua akan lebih signifikan.
Tinggal sekarang bagaimana merangkul tokoh-tokoh OPM serta faksi-faksi pendukungnya, agar mau berpolitik dengan cara baru demi kemajuan dan kesejahteraan, yakni memerdekakan Papua dalam kerangka Otsus. Memerdekakan kemiskinannya, memerdekakan kemalasannya, memerdekakan stigma separatisnya. Ingat, GAM di Aceh sudah membuktikannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H