[caption id="attachment_173541" align="aligncenter" width="400" caption="ilustrasi : Google.com"][/caption]
Papua saat ini sedang menjadi primadona media. Apa saja yang ada di wilayah itu diangkat dan diulas di media : kemiskinan, ketertinggalan, perang antar-suku, penembakan, keindahan dan kekayaan sumber daya alam, keunikan budaya dan masih banyak lagi. Setahun terakhir, media tampak fokus membidik gejolak politik separatisme di wilayah ini. Seperti deklarasi kemerdekaan Papua oleh Forkorus Yaboisembut dkk, wacana dialog Jakarta-Papua, aksi-aksi penembakan oleh kelompok sipil bersenjata yang diduga TPN-OPM, aksi-aksi unjuk rasa kelompok pro-M yang menolak UP4B dan menuntut dilakukannya referendum dst...dst.
Tampaknya media tak akan kehabisan bahan untuk mengulas soal Papua. Namun kita lupa bahwa ada satu fenomena sosial yang juga butuh perhatian kita bersama sebagai bangsa, yakni masalah guru dan anak-anak didik yang berada di wilayah pedalaman Papua.
Diberitakan bahwa kendati  sejak tahun 2006 penanganan pendidikan sudah terdesentralisasi melalui kebijakan Otsus (otonomi khusus), namun di sana-sini masih ditemukan sejumlah kendala. Seperti,  masih banyaknya siswa tingkat SMP yang belum lancar membaca, masalah kekurangan guru, belum meratanya penyebaran tenaga pendidik, masih banyaknya guru yang meninggalkan tugas alias mangkir, terutama yang berada di daerah pedalaman serta insentif guru yang ditilep oknum pejabat.
Seperti pengakuan ibu Agnesia Theresia Maturbongs ini misalnya. Ia adalah guru yang mengajar di SMP Negeri Persiapan Yanggandur, wilayah Merauke berdekatan dengan perbatasan Papua Nugini. Menurut pengakuannya, ada belasan guru yang bertugas di SD dan SMP Yanggandur, Kabupaten Merauke, sudah tiga tahun tak menerima tunjangan perbatasan dan kesejahteraan. Tunjangan tersebut seharusnya diberikan setahun sekali. Namun hingga tahun ini, dirinya dan sejumlah guru lainnya belum menerima. Sekolah tempatnya mengabdi adalah satu dari sekian banyak sekolah yang berada di wilayah perbatasan, dapat dijangkau dengan berjalan kaki sekitar 20 kilometer ke perbatasan PNG.
http://www.kbr68h.com/berita/papua/19995-guru-perbatasan-3-tahun-tak-terima-tunjangan
Masalah guru mangkir juga masih marak terjadi, khususnya di wilayah pedalaman. Hal ini diakui Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga Provinsi Papua, James Modouw. Â Pihaknya sudah melakukan berbagai upaya seperti penyediaan insentif dan rekrutmen tenaga pendidikan kontrak setiap tahun, namun belum mampu menjawab kebutuhan dunia pendidikan.
Di wilayah Kabupaten Maybrat, Provinsi Papua Barat, ada sebuah SD di Kampung Seiya yang sudah dibangun sejak tahun 1952 (waktu itu masih jaman jajahan Belanda). Sejak 2001 proses belajar mengajar di sekolah ini tersendat. Bahkan dari tahun 2005 sampai 2010 proses belajar mengajar praktis terhenti karena tidak ada guru. Hanya ada kepala sekolah yang merangkap sebagai guru. Guru yang hanya satu inipun sudah lama tidak hadir. Maka sekitar 30 anak yang tengah menempuh pendidikan di SD itu akhirnya putus sekolah. Hanya ada tiga anak di kelas 6 yang masih terus bersekolah karena orang tua memindahkan mereka ke SD di kampung lain. Kondisi ini membuat kepala kampung mendatangi bupati, dinas pendidikan dan Uskup setempat. Tahun 2010 proses belajar mengajar di SD ini mulai berjalan kembali setelah seorang pastor secara sukarela menjadi kepala sekolah dan mengajar di sekolah itu bersama seorang guru honorer yang mengajar tanpa gaji. Demi menjaga keberlangsungan proses belajar mengajar, masyarakat akhirnya bergotong royong mengumpulkan uang untuk membayar gaji guru honorer.
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/message/118317
Mabes TNI dan Kemendiknas telah membuat MoU (Memorandum of Understanding) untuk pemberantasan buta aksara dan kegiatan Pendidikam Anak Usia Dini (PAUD)di wilayah Papua dan perjanjian ini akan berlangsung selama 3 tahun.
http://bintangpapua.com/port-numbay/12801-65-prajurit-tni-dilatih-jadi-guru
fakta-fakta yang diuraikan di atas semoga dapat memberikan gambaran tentang kondisi dunia pendidikan di pedalaman Papua. Akar masalahnya adalah miskinnya komitmen pemerintah daerah setempat terhadap kualitas pendidikan dasar di pedalaman. Padahal semangat anak-anak untuk belajar dan animo masyarakat terhadap pendidikan sangatlah besar. Mereka semua membutuhkan dukungan kita. Maka kepada pemerintah Pusat agar melakukan sesuatu untuk mengatasi kondisi ini. Masalah politik memang penting, tuntutan kelompok pro-M dan ganggunan kelompok sipil bersenjata jelas butuh penanganan serius, namun masalah pendidikan, nasib para guru dan kebutuhan anak didik di pedalaman Papua juga tidak boleh diabaikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H