Mohon tunggu...
Veronika Nainggolan
Veronika Nainggolan Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Baru selesai kuliah, sdg mengadu nasib di ibukota. \r\n\r\nMotto : "MENGAMATI lalu MENULIS" \r\n \r\nuntuk KEDAMAIAN NEGERI......\r\n \r\n

Selanjutnya

Tutup

Edukasi

Budaya Melahirkan di Pinggir Sungai

7 Januari 2012   00:24 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:14 2817
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebuah buku yang ditulis Drs. Jusach Eddy Hosio,M.Si,M.Th (Kepala Diklat Prov. Papua Barat) berjudul “Papua Barat Dalam Realitas Politik NKRI” (terbitan Maret 2009) mengungkap sebuah data menggembirakan tentang pencapaian pembangunan bidang kesehatan di wilayah Papua. Disebutkan bahwa pada 2008 beberapa program baru sedang dikerjakan oleh Pemda-pemda setempat dan memberikan dampak positif, seperti pelayanan ibu hamil mencapai 85 %, penurunan angka kematian bayi 25 %, serta menurunnya angka kematian akibat DBD, TBC, diare dan ISPA.

Ketika Menteri Kesehatan masih dijabat oleh Siti Fadilah Supari, kita pernah mendengar adanya program “Selamatkan Papua” (Save Papua) yang dijalankan oleh Departmen Kesehatan. “Seluruh rakyat Papua dan Papua Barat tidak perlu mengeluarkan biaya untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dari pemeriksaan dokter, berobat, dan perawatan inap dan rawat jalan di kelas 3. Pemerintah pusat yang membayar seluruh biaya tersebut. Apabila ada yang menarik biaya, rakyat berhak melaporkannya ke polisi,” tegas ibu Menkes kala itu.

Untuk itu pelayanan Jamkesmas di Papua dan Papua Barat, tidak lagi membutuhkan pembuatan kartu Jamkesmas. Karena seluruh biaya kesehatan bagi masyarakat Papua dan Papua Barat dari pukesmas sampai rumah sakit dibayar oleh pemerintah pusat. Demikian pernyataan Siti Fadilah.

Mari kita komparasikan tekad dan angka-angka pencapaian di atas dengan pengalaman Dr. Antie Soleman yang sudah 25 tahun membantu orang Papua di daerah pedalaman, sebagaimana dipublikasikan The Jakarta Post hari ini.

Dokter wanita berusia 60 tahun ini hingga kini masih menemukan perempuan Papua menggunakan metode “tradisional” melahirkan tanpa bantuan.

Di wilayah Arfak misalnya, seorang ibu yang siap melahirkan akan pergi ke pondok dan berjuang sendiri untuk melahirkan. Dua minggu kemudian, dia akan muncul dengan bayinya atau tanpa bayi. Jika ia datang sendirian, itu berarti anaknya sudah meninggal dan sudah dikuburkan.

[caption id="attachment_161884" align="alignright" width="300" caption="dr. Antie Soleman, 25 tahun di pedalaman Papua"]

1325896004496554990
1325896004496554990
[/caption] Atau ketika lahir anak kembar, ibu itu harus menentukan untuk membunuh salah satu dan hanya membawa pulang salah satu dari mereka, karena ada keyakinan bahwa anak kembar adalah dua saudara yang akan tumbuh saling bermusuhan. Untung saja Dr. Anti jarang menemukan kasus lahir kembar di Papua. Di Mamberamo, seorang ibu yang akan melahirkan akan pergi ke sungai, berdiri di atas batuan padat dan memegang sebuah pohon di tepi sungai. Ketika darah mulai menetes buaya menunggu di bawahnya. Saat bayi muncul, sang ibu harus cepat merebut dan berbaring di pinggir sungai untuk memotong tali pusar.

“Ibu dan kematian anak sangat tinggi di Papua,” ujar dr. Antie. http://www.thejakartapost.com/news/2012/01/06/antie-soleman-fighting-papua0.html

Pengalaman dr. Antie di atas setidaknya menggambarkan bahwa orang-orang pedalaman Papua belum banyak mendapatkan pelayanan kesehatan secara memadai. Ini menjadi pekerjaan rumah bagi pemda-pemda di sana, dan tentu saja di bawah bimbingan Pemerintah Pusat. Dokter dan tenaga medis di Jakarta mungkin saja berjubel dan bersaing memasang tarif praktik, sementara di pedalaman Papua, masih banyak ibu hamil yang harus berjuang sendirian untuk melahirkan seorang bayi dengan cara konvensional.

Mungkin ini terkait erat dengan persoalan budaya yang masih dianut oleh masyarakat setempat, namun dari aspek kesehatan tentu sudah tidak layak lagi untuk dipertahankan. Aspek-aspek pelayanan dasar masyarakat Papua inilah yang barangkali patut dipertimbangkan menjadi  salah satu materi dalam ‘dialog Jakarta-Papua’ yang tengah diwacanakan saat ini.

Dari pada dialog itu terlalu bernuansa politis, lebih baik diarahkan untuk membenahi pelayanan-pelayanan dasar bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat Papua, terutama bagaimana membenahi akses-akses ke fasilitas kesehatan di pusat-pusat populasi masyarakat asli Papua, yang selama ini masih terabaikan. Semoga para tokoh Papua yang memang peduli pada kemajuan daerahnya bisa mengubah mindsetnya, dari policy minded dan lebih fokus ke welfare orientation.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Edukasi Selengkapnya
Lihat Edukasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun