Taman Baca Masyarakat dan Usaha Mencerdaskan Kehidupan Bangsa
Oleh:
Vero Stianda dan Nurhasanah
Taman Baca Masyarakat yang akan kita singkat dengan TBM, adalah suatu lembaga yang menyelenggarakan ragam program dan kegiatan literasi dalam usaha meningkatkan minat baca dan literasi di masyarakat. TBM sendiri ada yang dikelola oleh pemerintah, namun ada juga yang diekelola secara swadaya oleh masyarakat. TBM sendiri lahir dari keresahan para Aktivis dan Pegiat Literasi akan rendahnya angka literasi dan melek baca pada masyarakat Indonesia, dengan kata lain TBM adalah usaha sekelompok minoritas kreatif dalam menyadarkan masyarakat akan pentingnya budaya membaca dan mendongkrak naik angka literasi melalui penyelanggaraan tempat dan program yang memberikan akses luas bagi masyarakat untuk mendapat pelayanan pendidikan literasinya. Namun apakah kita sudah mengetahui secara tajam tentang TBM ini?, latar belakang kemunculannya, pendanaann, serta peran dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, melalui TBM ini sebenarnya adalah langkah strategis dalam usaha mencerdaskan masyarakat, berikut kita akan coba mengulas secara ringkas dan tajam mengenai TBM dan peran dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.
Dilihat dari tempat dan gaya penyelenggaraan, TBM ini dapat dikatan mirip dengan Perpustakaan namun dalam dimensi yang lebih kecil dan kegiatan yang lebih fleksibel. Di sisi lain dapat juga kita katakan bahwa TBM ini sama dengan perpustakaan pribadi yang dibuka umum bagi masyarakat, terlepas dari apa paradigma yang kita pahami mengenai TBM ini, tetap TBM adalah tempat yang menyediakan buku-buku bacaan yang dapat di akses oleh khalayak sosial. Hanya saja yang agak membedakan dengan Perpustakaan tentu adalah jumlah dan kelengkapan buku yang dikoleksi. Dari sudut pandang hukum, penyelenggaraan TBM sendiri di dalam UU no 20 tahun 2003 Tentang Sisdiknas pasal 26 a.4, yang menyatakan bahwa Satuan Pendidikan Nonformal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, PKBM, majelis ta'lim, serta satuan pendidikan sejenis. Dari penjabaran diatas dapatlah kita ambil suatu pandangan yang lebih rinci, bahwa TBM adalah bagian dari sistem pendidikan nonformal dan jelas diatur dalam regulasi Undang-undang yang jelas pula, sehingga memiliki dasar hukum kuat serta tidak dapat di goyah keberadaannya.
Berdasarkan survey yang diadakan oleh Program for International Student Assessment (PISA) dan di rilis oleh Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) pada 2019, Indonesia menempati posisi 62 dari 70 negara, atau masuk 10 negara terbawah dengan angka literasi yang rendah. Sedang menurut UNESCO, angka minat baca Indonesia hanya0,001% atau dari 1000 orang hanya 1 orang Indonesia yang membaca. Angka ini jelas mempihatinkan dan sangat mereshkan bagi tiap-tiap insan yang tersentuh hati dan akal budinya akan kesadaran literasi, barangkali dari data dan angka ini pula mendapat sebuah pencerahan akan pentingnya peranan TBM dalam usaha meningkatkan minat baca masyarakat, sertta dari itu kita diberi ilham bahwasanya dari kondisi nan memprihatinkan itu tidaklah cukup bagi TBM sebagai lembaga yang memberi akses literasi hanya sekedar berdiam diri dan menunggu orang untuk datang membaca, namun harus ada program yang mendorong usaha itu, itu pula-lah sebabnya penyelenggaraan program TBM hendaklah beragam dan variatif, serta edukatif dan berorientasi sosial. Seperti yang dipaparkan Muhammad Subhan,Penulis dan pegiat TBM, "Bahwa TBM harus memiliki program yang luas, semacam keaksaraan, mendongeng, menulis, boga, menenun, dan keterampilan kecakapan lainnya sehingga minat orang akan semakin terpicu sebab TBM tidak hanya menyajikan buku, namun juga lifeskill yang akhirnya akan mendorong perekonomian masyarakat" ungkap penulis dari kaki gunung Singgalang itu. Program yang baik tentu juga didukung oleh SDM yang baik pula, disanalah pentingnya para aktivis dan pegiat ini bersatu dan saling support dalam penyelenggaraan TBM yang baik.
Pada umunya pengadaan buku dan perlengkapan TBM adalah merupakan hibah dari masyarakat, demikianlah lumrahnya pembangunan TBM di Indonesia terjadi. Namun sebenarnya ada panduan teknis yang diterbitkan oleh Kemendikbudristek untuk memperoleh bantuan dana pengadaan sarpras TBM, namun barangkali masalah birokrasi yang macet membuat pegiat enggan mengajukan proposal pengadaan dana tersebut. Berdasarkan survey yang diadakan Taman Baca Lentera Pustaka, 85% TBM tidak pernah mendapat bantuan dari pemerintah sama sekali, hal ini menunjukan lemahnya perhatian pemegang wewenang terhadap TBM, jangan salahkan pula bila acap kali nanti dari TBM akan muncul kelompok kritis terhadap regulasi anggaran yang buram ini. Namun permasalahan ini bisa diatasi dengan TBM yang bergandeng dengan UMKM, artiny TBM memiliki badan usaha yang siap mendanai program TBM tersebut, hal ini telah dicontohkan oleh Rumah Syarikat Bukittinggi, dimana mereka mengadakan TBM lengkap dengan kegiatan bedah buku, FGD, diskusi, dan kegiatan edukatif lainnya, namun disatu tempat yang sama ada caffe yang dijalankan dan dikelola untuk pendanaan operasionalnya. Suatu hal yang dapat kita ambil inti sarinya bahwa TBM tidak selalu bergantung pada pemerintah dan lembaganya, namun dapat diusahakan dengan kemandirian ekonomi, tentu ada nilai tersendiri dalam hal ini, dimana mereka juga bisa melahirkan Pembaca yang bertransformasi menjadi penulis yang penanya tajam sebab tak pernah terbentur pendanaan pemerintah, artinya dalam peranan mencerdaskan kehidupan bangsa tidak ada enggan mengkritik pemegang kebijakan sebab memang dari awal tidak ada hutang budi terhadap pemerintah, sesuailah dengan pikiran Bung Karno untuk mewujudkan ekonomi yang Berdikari.
Untuk lebih menguatkan bukti pentingnya peranan TBM ini, ada baiknya kita balik pada kilas waktu yang sudah lampau, sejarah pergerakan kita mencatat bahwa lahirnya ide tentang perlawanan yang di motori oleh tokoh-tokoh nasional itu, sedikit banyaknya dipengaruhi oleh buku. Sudah jadi rahasia umum bahwasanya Bung Karno terpengaruh oleh buku berhaluan soasialis, namun juga di didik bagus keislamannya oleh sang guru HOS Tjokroaminoto, yang beliau sendiri juga amat gemar membaca dan menelaah buku-buku merah. Begitu juga dengan para tokoh lainnya, Hatta, Sjahrir, Yamin, dan yang lainnya, dapat pula kita lihat bahwa pada masa itu kita terbagi atas tiga kekuatan besar, Nasionalis, Sosialis, dan Agamis. Begeser pada yang agak lebih jauh, Tan Malaka 20tahun hidup dalam pelarian sebab dikejar Kempetai Nippon, dalam Madilog Tan Malaka mengungkap bahwa tiap-tiap pejuang dia adalah anak dari ideologi dan buku bacaan yang ia cermati, dengan kata lain arah pergerakan dan perjuangan seikit banyaknya akan ditentukan oleh bacaan dan pengetahuan, Tan Malaka beberapa kali sempat berhemat dari gajinya, mengurangi makan dan pakaian untuk membeli dan mendirikan perpustakaan di pelarian, Bung Hatta dengan 16000 buku, dan tiap tokoh dengan masing-masing buku yang mengilhaminya.
Dari rangkaian panjang di atas, sudahlah cukup rasanya kita memahami akan pentingnya TBM dan peranan dalam usaha mencerdaskan kehidupan Bangsa, serta bagaimana hendaknya suatu TBM berdiri dengan mandiri. Dengan data akan rendahnya angka litersi dan minat baca, maka tak ada lagi alasan bagi kita untuk ikut serta dalam memajukan literasi nasional dengan menyemarakkan TBM berikut dengan programnya. Pokok pikiran pada essay ini adalah bagaimana dengan TBM kita mengambil peran dalam usaha mencerdaskan kehidupan bangsa lewat budaya gemar membaca dan buku-buku inspiratif, serta program yang dinami
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H