“Pertama kali tinggal di rumah ini rasanya bingung dan pusing, karena muter, jadi berbeda sekali dengan rumah yang biasanya kotak.” (Siti – Penghuni rumah dome)
[caption id="attachment_192307" align="aligncenter" width="490" caption="Salah satu rumah dome, Dusun Nglepen, Prambanan, Sleman"][/caption]
Rumah unik yang berwarna putih dengan bentuk melingkar hingga atap ini menjadi daya tarik tersendiri bagi warga Dusun Nglepen, Prambanan, Sleman. Keunikannya juga menarik perhatian wisatawan lokal maupun asing. Area ini, dulunya merupakan areal perkebunan tebu desa. Namun kini disulap menjadi area pemukiman rumah dome yang merupakan bantuan dari asing bagi gempa yang melanda Yogyakarta pada Mei 2006.
“Warga desa ditawari bantuan, apakah menginginkan agar rumah lama mereka direkronstruksi ulang atau memilih rumah dome yang dibangun di area yang aman”, terang Titi (28) salah satu pemilik rumah dome.
Titi mengalami kebingungan saat menempati rumah itu pertama kali, tidak hanya bingung menentukan arah dan kiblat sholat, bahkan Titi bingung arah pintu masuk dan keluar. Hal yang sama diungkapan oleh Siti (30) bahwa rumah yang sering dikenal dengan nama rumah teletubbies ini membuatnya kerap kali pusing saat pertama tinggal. “Pertama kali tinggal di rumah ini rasanya bingung dan pusing, karena muter, jadi berbeda sekali dengan rumah yang biasanya kotak”, ungkap Siti.
[caption id="attachment_192311" align="aligncenter" width="490" caption="Suasana rumah Siti di lantai dua"]
[/caption] [caption id="attachment_192308" align="aligncenter" width="600" caption="Siti (kiri), Titi (kanan) beserta putrinya (tengah)"]
[/caption] Rumah dome itu terdiri dari dua lantai, terdiri dari dua kamar tidur, ruang tamu, dapur, sedangkan untuk aktivitas MCK terdapat rumah dome khusus yang masing-masing terdapat delapan kamar mandi yang digunakan secara bersama-sama. Rumah dome sangat praktis, tidak memerlukan space yang besar serta jika ingin bersih-bersih rumah dapat berlangsung dengan cepat. Rumah dome diklaim kuat terhadap goncangan gempa bumi dan terjangan angin. Jika pada siang hari di saat matahari terik, kondisi ruangan di rumah bunder itu juga menjadi panas. Selain itu, jika terjadi hujan pada malam hari, warga tidak tahu bahwa sedang terjadi hujan kecuali mereka keluar rumah. “Tau-tau paginya, tanahnya udah basah aja”, kata Titi. Terlebih lagi, jika sudah berada di dalam rumah, lalu ada yang memanggil, maka orang yang memanggil itu harus berteriak atau mengetuk pintu dengan kencang. Di malam hari, area rumah dome sangat sepi, bahkan jam delapan malam suasana sunyi bisa dirasakan karena warga sudah masuk rumah masing-masing. “Tidak ada ronda malam, jadi ya sepi”, tambah Siti. Kawasan yang ditinggali sekitar 72 keluarga ini, memiliki fasilitas kesehatan, taman bermain bagi anak-anak, mushola, tempat pendidikan, dan toilet umum untuk warga yang berbentuk '
bunder' juga serta toilet umum untuk pengunjung. Untuk pembuatan kawasan dome sendiri termasuk cepat, setelah gempa bulan Mei, Juni sudah diadakan pembukaan lahan. Maret tahun berikutnya selesai pembangunan secara keseluruhan. Tepat pada peringatan setahun gempa Jogja, serah terima dan peresmian oleh warga dari pihak yang memberikan bantuan. Kini, sudah lima tahun, rumah-rumah dome itu berdiri. Walaupun rumah dome setiap tahunnya dicek oleh petugas pengelola kawasan tersebut, namun jika terjadi kerusakan, tetap pemiliklah yang harus bertanggungjawab. Padahal beberapa rumah mengalami keretakan termasuk milik Siti. Jika hujan lebat datang, air hujan dapat merembes lewat dinding rumah. Kayu jendela pun sudah rapuh karena kayu yang digunakan berkualitas rendah. Selain itu, Siti mengeluhkan masih ada tarikan dana sewa tanah bagi warga yang sebagian besar hanya bekerja sebagai petani tebu. Ia mengharapkan agar tanah diberikan kepada warga seperti rumah dome yang diberikan secara cuma-cuma. Kawasan yang terdiri dari dua rukun tetangga ini juga menerima tamu yang ingin merasakan sensasi tinggal di rumah dome walaupun tidak selamanya. Warga setempat melalui organisasi pemuda mengelola program home stay di rumah dome. “Biasanya pada musim liburan banyak turis lokal bahkan asing yang datang dan menginap”, kata Siti sambil melayani orang yang membeli es diwarungnya. Selain itu, beberapa mahasiswa pernah datang untuk melakukan penelitian dan KKN. Dusun Nglepen ini juga dicanangkan untuk menjadi desa wisata. Namun, masih terkesan belum siap. Siti mengakui masalah tersebut. Walaupun sudah diresmikan menjadi desa wisata, tetapi belum bisa mengeluarkan retribusi bagi wisatawan yang ingin berkunjung. Hal tersebut dikarenakan dari pihak kelurahan belum mengeluarkan Surat Keputusan persetujuan atas Dusun Nglepen menjadi desa wisata. Dusun ini diharapkan memiliki keunggulan tersendiri jika memang tujuan utamanya bisa menjadi desa wisata. Siti mengungkapkan bahwa dusun ini unggul dalam hal pertamanan dan kebersihan, karena setiap rumah memiliki area kebun kecil yang bisa dimanfaatkan. Siti yang sehari-hari mengajar di PAUD ini juga menambahkan bahwa sumber daya manusianya pun juga harus siap jika Dusun Nglepen ini menjadi desa wisata. Karena hanya baru sebagian saja yang sadar akan pariwisata di kawasan tersebut. Kawasan rumah dome itu memang bersih dan rapi, tapi Siti mengakui bahwa untuk pengelolaan sampah sendiri belum maksimal walaupun sudah memiliki tempat sampah yang terbagi dalam tiga kategori. Karena pada akhirnya, warga sendiri jika membuang sampah di tempat sampah yang mana saja tanpa memperhatikan tulisan yang terdapat pada tempat sampahnya.
[caption id="attachment_192309" align="aligncenter" width="490" caption="Area Dusun Nglepen, dan sebuah mushola serta taman bermain"]
[/caption] Sebuah harapan kecil dari warga di rumah dome, agar Pemerintah lebih memperhatikan dusun itu dan melakukan sosialisasi secara intens jika kawasan itu memang menjadi desa wisata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Sosbud Selengkapnya