Mohon tunggu...
Verlandi Putra
Verlandi Putra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Seorang Mahasiswa yang hobi menulis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menanggapi Narasi Kemunafikan Politik dalam Isu Pencalonan Anies Baswedan

17 Juni 2024   18:53 Diperbarui: 17 Juni 2024   19:03 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebuah peristiwa yang seharusnya menjadi momen suci dalam merayakan Idul Adha justru ternodai oleh diskusi mengenai isu-isu politik praktis yang seringkali jauh dari nilai-nilai keadilan dan kejujuran. Kali ini, sorotan tertuju pada pernyataan Ganjar Pranowo, mantan calon presiden dan kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), terkait kemungkinan pencalonan Anies Baswedan sebagai calon gubernur Jakarta pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024. Sebagaimana dikutip dari artikel di Tempo.co (https://nasional.tempo.co/read/1880885/apa-kata-ganjar-soal-nama-anies-masuk-radar-pdip-di-pilgub-jakarta), Ganjar mengatakan:

"Ganjar Pranowo, mantan calon presiden 2024, mengatakan dalam momentum pemilihan umum termasuk perhelatan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak, PDIP tetap memposisikan diri sebagai partai yang terbuka untuk semua, baik itu kader maupun non-kader. 'Hal ini mesti diobrolkan, mudah-mudahan bisa bernegosiasi,' kata Ganjar seusai salat Idul Adha di kawasan kediamannya di Sleman, Yogyakarta, pada Senin 17 Juni 2024."

Dengan nada retorika yang seolah-olah menjanjikan keterbukaan dan transparansi dalam proses seleksi calon, Ganjar Pranowo menyatakan bahwa PDIP akan mempertimbangkan semua kandidat, baik dari internal partai maupun dari luar. Namun, di balik kata-kata yang terdengar meyakinkan itu, terdapat sebuah realitas politik yang pahit dan kontradiktif dengan nilai-nilai demokrasi yang sejati. 

Pertama-tama, kita perlu mempertanyakan logika di balik kemungkinan pencalonan Anies Baswedan oleh PDIP. Sebagai seorang tokoh yang dikenal memiliki pandangan politik yang cenderung konservatif dan memiliki basis massa yang kuat dari kalangan Islam garis keras, pencalonan Anies oleh PDIP menjadi sebuah partai yang mengklaim diri sebagai partai nasionalis sekuler terasa sangat janggal dan tidak masuk akal.

Dalam sejarah politik Indonesia, PDIP selalu mengampanyekan diri sebagai partai yang memegang teguh nilai-nilai Pancasila dan kebangsaan. Namun, dengan mencalonkan Anies Baswedan, partai ini seolah-olah mengkhianati prinsip-prinsip yang selama ini dijunjungnya. Bagaimana mungkin seorang tokoh yang dikenal dekat dengan kelompok-kelompok yang menginginkan penerapan syariat Islam di Indonesia dapat mewakili visi dan misi PDIP? Ini jelas merupakan sebuah kemunafikan politik yang mencoreng wajah demokrasi Indonesia.

Sebagaimana dikutip dari tulisan Goenawan Mohamad, seorang cendekiawan terkemuka, dalam bukunya "Pramoedya Ananta Toer Saya: 60 Menit Mencerahkan" (2002), beliau menegaskan, "Pancasila adalah fundamen kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Ia adalah perekat yang mempersatukan keberagaman suku, agama, ras, dan golongan di Indonesia." Dengan mencalonkan Anies Baswedan, PDIP seolah-olah mengkhianati prinsip-prinsip Pancasila yang seharusnya menjadi pedoman utama dalam berpolitik.

Dalam pernyataannya, Ganjar Pranowo menegaskan bahwa semua kandidat akan melalui proses seleksi dan pertimbangan yang ketat. Namun, pertanyaan yang muncul adalah, seberapa adil dan jujur proses tersebut nantinya? Bukankah pencalonan Anies Baswedan hanyalah sebuah langkah pragmatis untuk menarik dukungan dari basis massa konservatif demi kepentingan politik sesaat?

Prinsip keadilan dan kejujuran dalam demokrasi menuntut bahwa setiap kandidat harus dinilai berdasarkan kapasitas, integritas, dan visi mereka untuk membangun Indonesia yang lebih baik. Namun, dengan mencalonkan Anies Baswedan, PDIP seolah-olah mengabaikan prinsip-prinsip tersebut dan lebih mengutamakan kalkulasi politik jangka pendek.

Dalam konteks ini, kita perlu mengingat kembali pesan Bung Karno dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945, yang menegaskan, "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia merupakan salah satu sila dari dasar negara kita." Dengan mencalonkan seorang figur yang dikenal memiliki rekam jejak diskriminatif dan intoleran, PDIP seolah-olah mengkhianati prinsip keadilan sosial yang dijunjung tinggi oleh para pendiri bangsa.

Salah satu pilar utama PDIP adalah perjuangan untuk menegakkan nilai-nilai kebangsaan dan Pancasila. Namun, dengan mencalonkan Anies Baswedan, partai ini seolah-olah mengkhianati nilai-nilai tersebut. Sebagai seorang tokoh yang dikenal dekat dengan kelompok-kelompok yang menginginkan penerapan syariat Islam, pencalonan Anies oleh PDIP dapat dipandang sebagai sebuah upaya untuk merongrong prinsip-prinsip kebangsaan dan menyuburkan bibit-bibit radikalisme di Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun