Beberapa waktu lalu media ramai mengabarkan perseteruan walikota Surabaya, Tri Rismaharini dengan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Perseteruan itu, diawali dari pernyataan Ahok yang membandingkan luas Surabaya hanya sebesar luas Jakarta Selatan. Peryataan ini kemudian memancing kemarahan Risma yang selanjutnya menilai Ahok kerap membanding-bandingkan pembangunan di Jakarta dengan Surabaya.
Terlepas dari siapa yang salah dan benar dalam lakon perseteruan dua kepala daerah tersebut, saya ingin melihat bahwa riuhnya kabar perseteruan antara Risma dan Ahok menandai adanya pergeseran kultur politik kita dewasa ini. Pergeseran itu dipengaruhi oleh kuatnya kehadiran media dalam diskursus politik, dan dengan sendirinya ikut menggeser kultur politik itu sendiri.
Pada masa Orde Baru, rasanya tidak pernah terjadi adanya perdebatan antar aktor politik di media yang sengit dan riuh seperti era pasca reformasi sekarang ini. Hal ini disebabkan karena media menempati posisi sub-ordinat di bawah politik. Tetapi sekarang, delapan belas tahun setelah rezim Orde Baru tumbang, media telah mengalami penguatan yang amat signifikan, sehingga dapat dikatakan posisinya menjadi lebih kuat dari politik.
Menguatnya posisi media terhadap politik, pada akhirnya menimbulkan gejala tercerapnya politik ke dalam logika media. Logika media sebagaimana disebutkan David L. Altheide (2004), mengacu pada bagaimana pesan-pesan dikonstruksi dan dibagikan secara luas kepada masyarakat. Selain itu, media sebagai institusi bisnis juga harus menjaga dirinya untuk terus dibaca, didengar dan ditonton oleh masyarakat untuk mengejar rating.
Dalam logika demikian, bisa dipahami bahwa logika media sesungguhnya adalah logika “perdebatan untuk menunda titik temu”, “bercerita untuk mengurungkan ending”. Sungguh tidak menguntungkan bagi media, jika perseteruan Risma dan Ahok harus selesai dalam hitungan Jam. Maka, perseteruan Risma dan Ahok harus dijaga oleh media untuk tidak segera berakhir, harus dipanaskan terlebih dahulu agar menarik tingkat keterbacaan, keterdengaran, dan ketertontonan dari audiens supaya mendatangkan banyak rupiah dari iklan.
Mediatisasi Politik
Konsep mediatisasi sebagaimana diungkapkan Stig Hjarvard (2008) adalah konsep yang dipakai untuk menjelaskan adanya ekspansi logika media dalam berbagai bidang: politik, budaya, agama, dan sebagainya. Dalam bidang politik, gejala mediatisasi menggambarkan bahwa dewasa ini dunia politik yang diwakili tingkah laku aktornya (partai dan politikus), semakin terpengaruh oleh logika media.
Logika media selalu berhubungan dengan bagaimana realitas dikonstruksi dengan pesan dan nilai versi media. Pada dasarnya media tidak mungkin menggambarkan realitas secara utuh, mereka memiliki kacamata atau frame yang didasarkan pada nilai tertentu. Kacamata paling populer dalam bagaimana media mencuplik realitas adalah nilai berita.
Dalam dunia jurnalistik, setiap orang pasti mengetahui adagium klasik yang dimunculkan Charles Dana, “anjing menggigit manusia bukan berita, tetapi manusia menggigit anjing adalah berita”. Adagium ini mengandaikan bahwa berita harus menyuguhkan sesuatu yang tidak lazim, sensasional, konfliktual, dan mengandung decak penasaran orang banyak. Nilai-nilai semacam inilah yang diyakini oleh media, dan dipakai sebagai sudut pandang untuk menyuguhkan pesan kepada audiens.
Kasus Risma versus Ahok adalah contoh paling segar di mana gejala tingkah laku aktor politik telah terdampak kuat oleh logika media. Pernyataan Ahok yang dikutip oleh media terkait perbandingan luas Surabaya yang disamakan dengan Jakarta Selatan, dalam logika media merupakan sebuah nilai berita.
Celakanya, Risma menanggapi berita di media itu dengan nada yang amat serius. Begitupun Ahok yang ikut menanggapi pernyataan Risma, dan justru membuat perdebatan makin panas. Memanasnya perdebatan antara dua kepala daerah ini, akhirnya menjadi lahan basah bagi media untuk menyajikan berita-berita yang sensasional. Dengan demikian, Ahok dan Risma sesungguhnya telah terpancing atau tercerap dalam cara berpikir media yang hanya ingin menyuguhkan sensasi.