1. Sekolah Kedokteran Pribumi Pertama di Hindia Belanda
School Tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA) didirikan pada tahun 1898 di Batavia (sekarang Jakarta) sebagai sekolah kedokteran pertama untuk pribumi di Hindia Belanda. STOVIA dibentuk untuk memenuhi kebutuhan tenaga medis yang bisa melayani penduduk pribumi, sekaligus sebagai upaya pemerintah kolonial untuk mengurangi ketergantungan pada tenaga medis Eropa yang jumlahnya terbatas pada masa itu.
Meskipun awalnya STOVIA didirikan dengan untuk kepentingan kolonial, institusi ini kemudian menjadi pusat pendidikan yang berperan penting dalam membentuk kaum intelektual dan nasionalis Indonesia. Alumni STOVIA tidak hanya menjadi dokter, tetapi juga tokoh-tokoh penting dalam pergerakan nasional Indonesia. Pendidikan yang mereka terima di STOVIA tidak hanya mencakup ilmu kedokteran, tetapi juga menanamkan kesadaran akan pentingnya kesehatan masyarakat dan kemerdekaan bangsa.
2. Pendidikan di STOVIA Menggabungkan Ilmu Barat dan Lokal
Kurikum di STOVIA dirancang untuk menggabungkan ilmu kedokteran Barat dengan pengetahuan lokal, sehingga menghasilkan tenaga medis yang mampu menjembatani dua dunia ini. Para siswa diajarkan berbagai disiplin ilmu kedokteran modern seperti anatomi, farmakologi, dan bedah, tetapi mereka juga diajarkan untuk memahami konteks sosial dan budaya masyarakat yang akan mereka layani.
Siswa STOVIA juga didorong untuk melakukan penelitian medis yang relevan dengan kondisi di Hindia Belanda. Hal ini membuat mereka tidak hanya menguasai ilmu kedokteran secara teoritis, tetapi juga memiliki keterampilan praktis yang dibutuhkan untuk menangani penyakit-penyakit yang umum di wilayah tropis. Ini menjadikan pendidikan di STOVIA unik dan sangat relevan dengan kebutuhan masyarakat pada masa itu.
3. Biaya Pendidikan yang Terjangkau bagi Pribumi
STOVIA dikenal karena biaya pendidikannya yang terjangkau, sehingga dapat diakses oleh anak-anak pribumi yang cerdas namun tidak mampu membiayai pendidikan tinggi. Pemerintah kolonial menyediakan beasiswa dan berbagai bentuk bantuan finansial untuk siswa-siswa berbakat, dengan harapan bahwa mereka akan kembali dan melayani masyarakat pribumi setelah lulus.
Namun, keterjangkauan biaya ini juga disertai dengan ikatan dinas setelah lulus. Para lulusan STOVIA diwajibkan bekerja untuk pemerintah kolonial selama beberapa tahun sebagai bentuk pengembalian biaya pendidikan mereka. Meskipun demikian, banyak dari mereka yang tetap aktif dalam pergerakan nasional setelah ikatan dinas mereka berakhir, menunjukkan bahwa pendidikan di STOVIA tidak hanya membentuk mereka sebagai dokter, tetapi juga sebagai pejuang kemerdekaan.
4. Lingkungan Pendidikan yang Disiplin dan Ketat