Verdi Yudha Pratama
Karsa Kreasi
UKM Penalaran
Universitas Airlangga
      Bedan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Provinsi Jawa Timur pada tahun 2017 menyatakan data bahwa sebanyak 75% masyarakat etnis Madura memilih merantau di luar wilayah pulau madura. Tradisi merantau Etnis Madura dimulai sekitar tahun 1201 M atau abad ke-13. Tradisi merantau Etnis Madura tersebut disebabkan oleh prinsip etnis madura yakni memiliki jiwa pekerja yang tinggi, memperbesar status perekonomian di masyarakat, serta menganggap bahwa harga diri diatas segalanya sehingga ekonomi menjadi faktor utama dalam pembangunan status sosial di kalangan masyarakat.
      Pada dasarnya perekonomian Etnis Madura di Pulau Maduranya sendiri dapat diklasifikasikan sebagai perekonomian yang sudah cukup. Namun pembangunan industri dan lowongan pekerjaan di pulau jawa lebih cepat dan baik dibandingkan di Pulau Maduranya itu sendiri. Etnis madura yang merantau pada awalnya hanya sebagai pegawai kelas kasar dan buruh saja, namun lambat laun etnis madura berhasil menguasai perdagangan dan perekonomian hingga mampu bergeliat sebagai kunci pasar perekonomian di perantauan.
      Geliat maraknya warung madura 24 jam di Indonesia bermula pada zaman kolnialisme belanda di Jakarta tepatnya di daerah pelabuhan Priok dengan bisnis kayu dan loak dimana mereka menjual barang-barang bekas dan antik yang berbahan dasar besi ataupun alumunium. Pada saat itu bisnis tersebut memang kurang disukai oleh masyarakat sehingga Etnis Madura memanfaatkan peluang perekonomian tersebut.
      Beranjak pada tahun 1900-an, Etnis madura mulai sedenter di tempat perantauan yang pada saat itu mayoritas tempat perantauan masih di pelabuhan priok jakarta. Mereka beranjak memperluas perekonomiannya dengan mengembangkan bisnis kayunya yang diambil dari pulau borneo serta membuka usaha baru yakni bisnis kuliner dimana mereka menjual bubur kacang ijo khas madura.
      Menurut M. Chairul Arifin sebagai alumni Universitas Airlangga Surabaya menyatakan bahwa pada tahun 1970an, Warga Etnis Madura juga mengembangkan perekonomiannya juga di Kota Surabaya dengan berbisnis menjual perangko di daerah kantor pos besar surabaya. Serta mereka juga mengembangkan pusat jual beli loak di daerah Pasar Turi Surabaya sehingga orang madura bisa dikatakan pada saat itu mampu menjadi episentrum perekonomian di Kota Surabaya.
      Pada tahun 2000-an ketika penjualan kayu di pelabuhan priok jakarta mengalami kesuksesan yang besar. Akhirnya etnis madura mengembangkan bisnis tersebut dengan mengembangkan produk kayu menjadi bisnis furniture. Sedangkan bisnis penjualan bubur kacang hijau khas madura berkembang pesat dan tersedia di sudut kota.
      Dengan berkembangnya bisnis kayu dan bisnis penjualan bubur madura tersebut berdampak pada etnis madura memiliki modal yang besar untuk megembangkan bisnis lain. Sehingga etnis madura mayoritas memutuskan untuk membuat bisnis yang menyaingi supermarket terkenal seperti Indomaret atau Alfamart dengan membuka warung 24 jam yang mana mereka menyediakan semua kebutuhan masyarakat sehari-hari.
      Cerita perkembangan perekonomian warung madura bukan hanya di daerah pelabuhan priok jakarta, namun hampir menyeluruh di wilayah indonesia. Setiap perkembangan perekonomian etnis madura diberbagai wilayah di Indonesia tidak melulu mengembangkan bisnis kayu dan bubur khas madura saja. Namun mereka dapat mengembangkan peluang ekonomi didaerah perantauan mereka sehingga mendapatkan modal untuk membangun bisnis warung 24 Jam.
Refrensi
Arifin, M. Chairul. 2024. Fenomena Warung Madura yang Fenomenal. https://unair.ac.id/fenomena-warung-madura-yang-fenomenal/ , diakses pada 29 Agustus 2024.