[caption caption="foto bersama bapak Sarmidi ALM"][/caption]
Pada tanggal 23 Oktober 2015, mahasiswa Jurusan Antropologi Sosial Universitas Andalas melakuakan kuliah lapangan Mata kuliah Hubungan Antar Suku Bangsa dengan objek penelitian tentang Masyarakat Jawa – Suriname. Masyarakat Jawa – Suriname menetap di Pasaman Barat tepatnya di Jorong Tongar Nagari Aia Gadang , dengan jarak kurang lebih 83 KM dari Kota Padang dan menghabiskan waktu kurang lebih 5 -6 jam perjalanan menggunakan angkutan umum. Kami berangkat dari Padang sekitar pukul 10.00 WIB dan sampai di lokasi sekitar pukul 16.00 wib. Ketika sampai kami menjalankan aktivitas yang rasanya memang perlu dilakuakan, hal tersebut dilakukan atas kebutuhan masing – masing, ada yang beristirahat, dan ada juga yang langsung mengelilingi dan mengamati keadaan di daerah tersebut dan salah satu dari orang tersebut adalah saya. Berdasarkan pengamatan saya mengenai daerah jorong Tongar, ada beberapa pokok pengamatan diantaranya deskripsi mengenai keadaan lingkungan/geografis dan mengenai kehidupan sosial – budaya masyarakatnya. Hasil dari pengamatan saya, di Jorong Tongar masih terdapat banyak pepohonan disepanjang jalan, terdapat sebuah balai/kantor desa, adanya sebuah Sekolah Dasar yaitu SDN 26 Pasaman , selain itu juga terdapat tempat Ibadah yaitu sebuah Mushollah dan sebuah Masjid yang masih dalam tahap pengerjaan. Kemudian di Jorong Tongar juga terdapat aliran sungai, yang menjadi sumber air kedua dari masyarakat Tongar setelah Sumur. Masyarakat Jorong Tongar sangat menerima kehadiran orang luar ketika berkunjung kedaerah mereka, hal ini dapat dibuktikan dengan sambutan yang hangat dan keramah – tamahan masyarakatnya selama kami berada disana, semua kalangan menerima kami dengan baik, mulai dari anak – anak, pemuda hingga orang tua.
Suku Jawa Suriname, adalah suatu kelompok masyarakat baru yang berasal dari kepulauan Indonesia sekitar akhir abad 19, yang dibawa oleh pemerintah Belanda yang pada saat itu menguasai Suriname di Amerika Selatan. Negara Suriname memerlukan tenaga kerja untuk dipekerjakan di perkebunan-perkebunan, Para pekerja perkebunan di Suriname sebelumnya dikerjakan oleh para budak Negro dari Afrika. Setelah perbudakan dihapuskan, para budak Negro berduyun-duyun meninggalkan perkebunan dan menuju kota - kota di Suriname. Para orang - orang Negro ini disebut sebagai Kreol Suriname. Akibatnya perkebunan tersebut pun kosong dan tidak memiliki pekerja. Akhirnya pemerintah Belanda mengambil pekerja baru ke Hindia Belanda (kini Indonesia) dengan sistem razia, dibujuk dan dipaksa dikapalkan ke Suriname. Para pekerja paksa dari Indonesia ini mayoritas dari pulau Jawa tepatnya dari etnis Jawa dan Sunda, yang kebanyakan dari mereka adalah para petani buta aksara. Antara tahun 1890–1939, terdapat lebih dari 33.000 jiwa orang Jawa yang dibawa ke Suriname.
Gema kemerdekaan Indonesia sampai ke Suriname. Muncul keinginan kembali ke Jawa karena mereka merasa seperti di pengasingan. Pada Mei 1951 didirikanlah sebuah Jajasan ke Tanah Air (JTA) yang dipimpin oleh Salikin Hardjo, ketua dari PBIS (Persatuan Bangsa Indonesia Suriname), yang mendorong orang Jawa Suriname kembali ke Jawa. Dalam waktu singkat dia berhasil menghimpun 2.000 keluarga, Dari total 32.965 imigran Jawa di Suriname. Pada tahun 1953 sekelompok besar 300 keluarga (1.200 orang), yang dipimpin oleh Saikin Hardjo, kembali ke Indonesia pada Langkuas kapal dari Royal Rotterdam Lloyd. Mereka berniat untuk pulang ke pulau Jawa, tapi permintaan mereka tidak disetujui oleh pemerintah Indonesia, dan sebagai gantinya mereka dikirim ke Sumatra Barat. Mereka membersihkan tanah, membangun rumah dan mendirikan desa Tongar di kabupaten Pasaman. Kehidupan Sosial Dan Budaya mereka terintegrasi dengan Kehidupan masyarakat Minangkabau, masyarakat Trans Jawa, dan masyarakat Suku Bangsa lainnya seperti Batak. Hal tersebut akhirnya membentuk suatu pola hubungan antar suku bangsa, yang memungkinkan terjadinya percampuran Budaya (Asimilasi dan Akulturasi).
Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara yang saya lakukan kepada bapak wali Jorong dan beberapa narasumber lainnya, mereka mengatakan bahwa Masyarakat Jawa – Suriname sebagian besar menganut agama Islam, dengan jumlah populasi(saya lupa) . sebagian besar masyarakat Jawa – Suriname berprofesi sebagai Petani, seperti Kelapa Sawit, Padi, dan berladang, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sektor tanaman kelapa sawit mulai berkembang di Jorong Tongar sekitar tahun 2000. Pada awalnya masyarakat Jawa – Suriname lebih memilih padi sebagai komoditas pertanian utama, namun seiring berjalannya waktu, alih fungsi lahan pun terjadi yang awalnya dari Padi menjadi Kelapa Sawit, hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor seperti, hama tanaman padi yang tak terkendali, kemudian nilai jual dari Kelapa Sawit lebih menjanjikan untuk menyambung hidup. Sebagian besar Masyarakat Jawa – Suriname memilih menjadi petani khususnya Kelapa Sawit, daripada menjalankan profesi lain, karena bagi masyarakat Jawa – Suriname Hasil Pertanian Kelapa Sawit lebih menjanjikan finansial contohnya Bapak Samari yang merupakan Tokoh utama yang menjadi juru kunci Adat dan Agama di Jorong Tongar, beliau memiliki anak laki – laki yang berprofesi sebagai Petani Kelapa Sawit, dan memiliki lahan seluas 18 Hektar, ketika musim panen, beliau bisa mendapatkan penghasilan sebanyak 12 juta dalam kurun waktu 15 hari.
Hal itulah yang menyebabkan mereka lebih memilih bertahan sebagai petani khusunya kelapa sawit. Masyarakat Jawa – Suriname menganut banyak sistem kepercayaan, khususnya yang berujung pada Sektor pertanian dan pembangunan, contohnya pada sektor pertanian ketika datang musim tanam dan musim panen baik itu padi, kelapa sawit dan buah – buahan, masyarakat Jawa – Suriname memiliki kepercayaan tentang pengambilan hari baik dalam menentukan waktu tanam dan waktu panen, yang mereka ambil berdasarkan kalender jawa. Kemudian dalam sektor pembanguan, masyarakat Jawa – Suriname memiliki tradisi Kepercayaan tentang Ikan Larangan yang merupakan hasil perpaduan dari budaya Minangkabau.
Ikan Larangan adalah Ikan yang dilepaskan kesungai secara bebas namun dilindungi oleh Doa – doa, dan akan dipanen ketika waktu – waktu tertentu, hasil keuntungan dari panen Ikan Larangan tersebut akan digunakan untuk kepentingan bersama seperti untuk membiayai pembanguan dan pembuatan fasilitas desa yang dapat digunakan secara bersama - sama. Masyarakat Jawa –Suriname percaya bahwa jika ada orang yang mengambil Ikan Larangan maka orang tersebut akan mengalami kejadian – kejadian mistis seperti tersesat di hutan, mengalami penyakit mual, sakit perut dan muntah – muntah bahkan berujung pada hal yang sangat fatal yaitu kematian. Di Jorong Tongar juga terdapat Masyarakat Suku Bangsa lain diluar Masyarakat Jawa – Suriname, seperti Suku Bangsa Minangkabau, trans jawa, Mandailing dan Batak. Saya juga mewawancarai bapak Mi’un dan mengajukan beberapa pertanyaan yang pada intinya, adalah bagaimana kehidupan sehari – hari dari Masyarakat Jorong Tongar ini, yang memiliki Banyak latar belakang kebudayaan, serta apakah pernah terjadi konflik antar suku bangsa didaerah ini?. Dan kemudian beliaupun memberikan penjelasan, memang benar bahwa ada banyak latar belakang kebudayaan yang berkembang di Jorong Tongar, namun walaupun demikian Toleransi sangat dijujung tinggi dan diutamakan dalam kehidupan bermasyarakatnya. Terjadinya Konflik antar Suku Bangsa sangat dihindari, dari dulu hingga sekarang belum pernah konflik antar suku bangsa terjadi, mereka hidup berdampingan secara damai, saling mengayomi dan menghargai antar satu dengan yang lainnya. Konflik yang terjadi di Jorong Tongar adalah Konflik sengketa lahan antara Masyarakat Jawa – Suriname dengan PT TR , yang masih terjadi dan belum mendapatkan penyelesaian hingga sekarang. Menurut data dari narasumber konflik sengketa lahan tersebut terjadi karena berawal dari Kepala Desa terdahulu yang berkonspirasi dengan pihak PT TR, untuk menggusur lahan masyarakat demi mendapatkan keuntungan. Sampai sekarang konflik tersebut belum selesai.
Saya juga mewawancarai bapak Samari (90 tahun) tentang bagaimana upaya masyarakat Jawa – Suriname dalam melestarikan budayanya. Dan berdasarkan hasil dari penjelasan beliau, intinya beliau menjelaskan bahwa Masyarakat Jawa – Suriname dalam upaya untuk melestariakan Budayanya, mereka telah memberikan sosialisasi kepada anak cucunya sejak kecil, contohnya orang tua akan berbicara menggunakan bahasa Jawa ketika berbicara dengan anak – anaknya, hal tersebut merupakan upaya untuk melestarikan budaya yaitu aspek bahasa. Selain itu karena masyarakat Jawa –Suriname sudah terintegrasi dan berbaur dengan masyarakat suku bangsa lain khususnya Minangkabau, mereka mengajarkan kepada anak cucu, agar dapat menempatkan sesuatu sesuai dengan keadaannya, seperti mereka diajarkan untuk berbicara menggunakan bahasa Minang jika sedang berhadapan dengan orang minang baik di sekolah ataupun diluar sekolah, menggunakan bahasa Indonesia jika sedang bergaul dilingkungan teman sebaya dan orang baru.
Masyarakat Jawa –Suriname lebih bangga jika mereka dipanggil dengan Jawa – Suriname, karna bagi mereka hal tersebut memiliki perasaan senang dan kebanggaan tersendiri, yang menjadi identitas bagi mereka. Saya mewawancarai seorang narasumber yaitu bapak Sarmidi (82 tahun) warga asli dari Suriname, mengenai bagaimana pengakuan identitas mengenai atribu – atribut yang memang khas dari orang Jawa –Suriname. Beliaupun menjelaskan bahwas Dalam pengakuan identitas berupa atribut – atribut khusus seperti baju, peralatan, aksesoris dan lain sebagainya, Masyarakat sudah tidak memiliki semua hal tersebut/ciri khusus yang menandai kelompok mereka, hal tersebut dikarenakan oleh beberapa faktor diantaranya, ketika mereka pulang kembali ke Indonesia mereka Tidak membawa sertakan Atribut – atribut tersebut mereka hanya menggunakan pakaian seadanya, sama seperti pakaian pada masyarakat umumnya, karena menurut hasil pemaparan dari narasumber Jika bahwasannya, Ketika di Suriname Hanya orang – orang golongan bangsawan saja yang bisa dan mapu menggunakan Atribut – atribut khas dari Suriname, sedangkan rakyat dari golongan kecil tidak memiliki kesempatan dan hak akan hal itu, jadi mereka berpakaian seadanya sama seperti masyarakat biasanya, begitu juga ketika mereka kembali ke Indonesia. Namun walaupun demikian Identitas mereka Terdapat di Kognitif/pemikiran dan tingkah laku mereka sehari – hari, hal tersebutlah yang menjadi ciri khas bagi masyarakat Jawa – Suriname yang membedakan mereka dengan suku bangsa lainnya contohnya seperti Penggagas dalam Sektor pembanguan, dengan istilah “Membangun kota di tengah hutan” hal itulah yang terlintas dipikran orang – orang ketika mendengar kata Jawa – Suriname.
Itulah sepenggal cerita dari pengalaman yang saya alami ketika melakukan penelitian di Jorong Tongar, Nagari Aia Gadang Kabupaten Pasaman Barat. Apabila ada kesalahan dalam penulisan hasil penelitian ini, saya selaku penulis meminta maaf kepada para pembaca. (Aurellio).