PengabdianÂ
Vera Verawati
"Masih dingin, Bu."
Gigil itu memaksa tubuh untuk bangkit merapikan mimpi. Bayangan kecil berlarian di benak. Seolah berlomba menempati yang paling utama, hingga menjadi yang satu-satunya. Seperti lupa ada suara-suara lain yang berteriak.
"Rasa enggan beranjak, Bu."
Belum tuntas curahkan setumpuk keinginan, yang terserak oleh tawa-tawa bersahaja. Lantas menarik-narik sepasang tangan. Memintanya membersamai, agar langkah kian pasti. Memintal hari dengan menari bersama wajah-wajah lincah menggemaskan.
"Hari berlari kencang, Bu."
Seperti mengajak untuk tak lagi menoleh, tinggalkan yang meninggalkan. Jangan  lagi mengemis sepotong coklat, sebab cinta bukan soal serah terima sederet sajak datar. Tapi memberi dan terus memberi, tanpa pernah bertanya akankah menerima potongan hati yang sama?
"Aku memilih berhenti, Bu."
Panggilan jiwa dari celoteh-celoteh polos itu telah berhasil mengurung. Memenjarakan seutuh raga pada pengabdian tanpa kasta. Sayap ini terbentang seluas gaun awan nan menawan , demi menaungi kasih tulus  wajah anak-anak desa.