Mohon tunggu...
Vera Verawati
Vera Verawati Mohon Tunggu... Lainnya - Ordinary woman

Kopi dan buku, serta menulis apa pun yang tergerak hati.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Ketika di Bawah Jendela Ada Tangis

22 Maret 2024   15:08 Diperbarui: 22 Maret 2024   15:15 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Sedikit kegaduhan di rumah-rumah saat sahur dan berbuka puasa tiba. Tawa khas beberapa orang menikmati satu set hidangan mewah di resto klasik. 

Aroma coklat panas dan bergelas kesegaran warna-warni, sedang di hadapannya Si Kecil dengan rambut dan wajah lelah memetik ukulele, berharap ada selembar receh yang mampir di plastic bekas permen.


Tanpa berminat untuk hanya tengadah meminta-minta begitu saja. Harga dirinya masih terlalu tinggi untuk menyelamatkan kehormatan ibunya, yang berjibaku sendiri menjadi kedua kaki untuk gubuknya yang bertambal spanduk bekas disana-sini.


Letak orang-orang baik tersembunyi entah di mana. Yang mengetuk pintu-pintu panti asuhan dan meninggalkan sekantung kotak-kotak harapan penyambung kehidupan. Lalu meninggalkan sebatang lilin di ujung teras.


Dengarlah!


Tidakkah kau dengar, ada yang terisak di bawah jendela jati bercat coklat kayu? Dengan mukena usangnya, bersujud tersedu. Sungguh, tak ada teriakan ke luar dari bibirnya yang membiru kelu. Selain diam di antara sedu-sedan.


Seiring gerimis menarikan teatrikal kepasrahan. Tubuh lelahnya kembali bangkit, memastikan bahwa hidup hari ini bukan sekedar mimpi. Ada langkah yang harus segera diseretnya, demi sebiji remah yang harus dihitung untuk dikumpulkan.


Lalu, wajah itu kembali terhias senyum. Tulus, bahkan jejak air mata yang baru saja deras sembab tak lagi berbekas. Jauh di kedalaman kalbu, berbisik, "Pada-Mu, ku titipkan dunia. Berikan apa yang pantas aku terima, jauhkan dari apa yang akan melilitku dan menggiringku pada kematian paling nisbi."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun