Sedikit kegaduhan di rumah-rumah saat sahur dan berbuka puasa tiba. Tawa khas beberapa orang menikmati satu set hidangan mewah di resto klasik.Â
Aroma coklat panas dan bergelas kesegaran warna-warni, sedang di hadapannya Si Kecil dengan rambut dan wajah lelah memetik ukulele, berharap ada selembar receh yang mampir di plastic bekas permen.
Tanpa berminat untuk hanya tengadah meminta-minta begitu saja. Harga dirinya masih terlalu tinggi untuk menyelamatkan kehormatan ibunya, yang berjibaku sendiri menjadi kedua kaki untuk gubuknya yang bertambal spanduk bekas disana-sini.
Letak orang-orang baik tersembunyi entah di mana. Yang mengetuk pintu-pintu panti asuhan dan meninggalkan sekantung kotak-kotak harapan penyambung kehidupan. Lalu meninggalkan sebatang lilin di ujung teras.
Dengarlah!
Tidakkah kau dengar, ada yang terisak di bawah jendela jati bercat coklat kayu? Dengan mukena usangnya, bersujud tersedu. Sungguh, tak ada teriakan ke luar dari bibirnya yang membiru kelu. Selain diam di antara sedu-sedan.
Seiring gerimis menarikan teatrikal kepasrahan. Tubuh lelahnya kembali bangkit, memastikan bahwa hidup hari ini bukan sekedar mimpi. Ada langkah yang harus segera diseretnya, demi sebiji remah yang harus dihitung untuk dikumpulkan.
Lalu, wajah itu kembali terhias senyum. Tulus, bahkan jejak air mata yang baru saja deras sembab tak lagi berbekas. Jauh di kedalaman kalbu, berbisik, "Pada-Mu, ku titipkan dunia. Berikan apa yang pantas aku terima, jauhkan dari apa yang akan melilitku dan menggiringku pada kematian paling nisbi."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H