Tempias hujan membasahi sekeping hati nan sendu. Gubuk di ujung desa begitu damai, walau atap nipahnya mulai rembes oleh tetes-tetesnya. Terlalu lama sepi itu menghiasi, walau dikelilingi cicit murai yang selalu ramai.
Saat bunga-bunga pamerkan kelopak bermekaran. Bercengkrama manja disela canda kupu-kupu dan lebah. Sebuah ketukan lembut menyentuh daun pintu, dan hati yang lama mati suri perlahan menggurat senyum berseri.
Rimba yang mengelilinginya, tak lagi membuatnya gentar. Auman singa betina tak menyurutkan benih bertumbuh sumbur, bukan hujanan puisi yang membuainya, pun tidak juga rangkaian kata bermantra asmaraloka.
Ketegasan sikap, kesantunan budi bahasa, kesederhanaan yang bersahaja, keilmuwan yang rendah hati, memukaunya tanpa tidak. Jika kemarin mabuk oleh petikan gitar dengan sajian segelas prosa moksa, lantas terhempas di tiang ketidakpastian.
Tuan, tak akan bertanya, kapan tiba langkah menuju pintu, tapi satu ketukan itu telah benar-benar membangunkan dari kematian. Jika tangan yang kau ulurkan untuk menggenggam tanpa ingin melepaskan, maka pintu  akan benar-benar terbuka seutuhnya.
Di ujung tahun, Desember teduh yang mulai basah oleh hujan. Hari-hari punguti alphabet, lantas merangkai dalam syair-syair dingin. Tentang akhir kegelisahan, menetap dan menempatkan pada satu, tanpa ada yang lain jadi pembanding.
Selamat datang bulan dimana tedung-tedung penuh oleh air mata bidadari, tanpa jejak selendang tertinggal ditepiannya. Hanya sayup senandung tentang rindu yang mulai berdenting. Dawai-dawai itu terdengar indah, riang oleh nada-nada cinta.Â
Pondok Kata, 5 Desember 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H