Mohon tunggu...
Vera Verawati
Vera Verawati Mohon Tunggu... Lainnya - Ordinary woman

Kopi dan buku, serta menulis apa pun yang tergerak hati.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Cinta Sekerat Roti

1 Agustus 2023   19:32 Diperbarui: 1 Agustus 2023   19:42 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Dari mana mulai menyusun huruf-huruf yang sudah lama bertaburan dari sekepal otak yang mulai usang. Terlalu penuh oleh pertimbangan yang seharusnya tak lagi perlu dipertimbangkan. Katakan tidak pada yang tak menunjukan kepastian.


Hari-hari bergerak tanpa jeda walau sesaat, mulut menganga dan perut anak-anak keroncongan oleh bunyi yang tak terlalu berisik, teredam kepasrahan yang sesekali terombang-ambing keterdesakan.


Sementara orang-orang sebagian tak memahami apa arti dorongan ketiadaan selain memukuli maling kecil yang mencuri sekerat roti demi mulut-mulut mungil yang menganga tanpa suara tapi terus berupaya menjajakan apa yang bernilai demi bersambung nyawa.


Kalap menelanjangi, pria yang disebut ayah itu telah menyelamatkan dompet yang dilempar perompak sesungguhnya. Sedang pundi bernilai nol tak terbilang, telah berceceran di meja judi para birokrat berkedok donasi rakyat.


Tengoklah !


Di gang-gang kecil, di jalanan, lampu merah kota-kota bermata indah. Masih terkapar tubuh-tubuh kurus yang terlelap di atas koran yang memberitakan kemegahan negerinya. Diayunkan mimpi muluk para calon legislativ, yang duduk menonton video syur di bawah meja  paripurna, sesaat setelah sumpah dirapalkan.


Lalu siapa yang mengurusi jerit dan pekik korban stunting, human trafficking, illegal loging hingga transaksi berpindah nama pulau-pulau nan hijau gemerincing. Batu bara, minyak, timah, emas, mutiara, berlian, hingga panas bumi. Tuhan lengkapi ibu pertiwi.


Ah, sudahlah!


Tak muluk-muluk melihat negeri ini sedamai dahulu, berjuang untuk tak ada perang pun sebegitu sulitnya, karena jari-jari saat ini tak lagi butuh telunjuk untuk menunjuk. Cukup setitik signal mampu merusak kepercayaan publik.


Demi sekerat roti, perempuan-perempuan menjual keperawanan, ibu menggadaikan kesetiaan, demi kehormatan perut anak-anaknya. Sedang sebagian besar lelaki masih linglung menghitung adakah tersisa pekerjaan halal di perusahaan tanpa ijazah tak terjajajah.


Kuningan, 1 Agustus 2023

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun