Mohon tunggu...
Vera Verawati
Vera Verawati Mohon Tunggu... Lainnya - Ordinary woman

Kopi dan buku, serta menulis apa pun yang tergerak hati.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Pergi Tanpa Berpamitan

23 Juni 2023   18:29 Diperbarui: 23 Juni 2023   18:41 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Aku bertanya pada langit yang menghitam, akankah pergi setelah air mata tuntas dijatuhkan atau memilih diam dan menunggu hingga isak reda, dan dada kembali lega. Lantas warna putih biru itu kembali menebar rona jingga.


Semestinya sebuah kehadiran adalah takdir, begitu juga kepergian dan kehilangan adalah rasa yang amat normal. Tapi sakit yang ditinggalkan begitu sulit disembuhkan. Ketika peneriman atas sebuah ketentuan masih tertatih dipastikan, sedang langkah harus terus dilanjutkan.


Jangan paksa menghapus jejak, jika gerimis mempertegasnya. Semakin kuat keinginan melupakan semakin dalam luka dirasakan. Jadi biarkan cinta mencari jalannya sendiri, entah bermuara di mana, sejauh setia menjadi jubahnya.


Lukis sebanyak garis yang bisa digoreskan, jika ingin menjadi bentuk atau membiarkannya serupa tali temali yang terurai lantas terlihat siluet sebentuk wajah dari masa lalu, yang berhasil mematikan rindu hingga kaku, beku.


Alih berganti nama-nama yang hadir menawarkan secawan asa, tetap masih tak berhasil menguapkan sebuah kisah yang terpatri sempurna dalam jiwa dan raga. Bertolak harap tersisa memberi sebuah kepastian tentang arti kematian.


Tangis manja, tawa lirih, sendu merajuk sang pujaan menjadi potongan kenangan yang sempurna terpenjara. Lupa bagaimana jalan menujunya, terlalu rabun hingga buta seluruh pandangan, dalam satu kedipan hanya tuan di hadapan.


Biarkan saja daun berguguran beriringan musim bertukar. Juni nyaris dipertengahan, suara-suara sumbang tentang kemarau yang masih saja bertahan. Tak juga lekang walau gemuruh guntur terdengar bersahutan, menakutkan.


Di mana, payung-payung teduh yang biasanya menari-nari di antara induk November dan Desember. Hanya telunjuknya terlihat mengarah pada bulan yang masih segurat sabit. Romantika malam padankan bintang-bintang yang bergelantungan di pergelangan kegelapan.


Masih mau menangisi sebuah kepergian? Bukankah arti kehadiran lebih indah untuk segera diunggah. Sudah, jangan larutkan rindu pada bentuk yang masih ambigu. Mari merunut dan jelujur patahan garis demi garis. Demi memastikan sebuah rasa yang tiba-tiba datang.


Ucapkan saja selamat datang, jangan lagi terseok meratapi sebuah kepergian. Diam lalu hilang tanpa berpamitan, yang pergi tak akan kembali, yang sirna biarkan tiada. Karena jiwa-jiwa baru, menyuguhkan secawan rindu beraroma madu.

Kuningan, 20 Juni 2023

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun