Suara-suara belum terdengar, koin-koin masih saling berjauhan, tak ada denting beradu, meski satu lemparan dari pejalan kaki yang sedang rapuh. Tersentuh oleh lagu yang disenandungkan dari petikan gitar memainkan nyanyian resah.
      Jangan bertanya berapa jauh bulan dan bintang, walau saling melengkapi tapi jarak atara keduanya tak berbilang jengkalan tangan. Orang-orang sebagian berlari, berlomba bersama roda-roda yang kian memadati kota. Semakin tua saja sebagian dindingnya.
      Cat-cat yang menempel terlihat mengelupas, terkikis panas dan hujan yang datang tak pernah memberi kabar walau satu pesan yang dihembuskan. Seperti juga hati, orang-orang mulai meragu saat hari ini, kemarin masih tak terlihat perubahan pada setitik impian.
      Telah dipinjam pepohonan paling tinggi, lantas memanjat mercusuar untuk meneriakan satu persatu harapan, seperti Tuhan tersangkut di dedauan. Mereka yang berwajah lembut, senyum sewarna awan putih biru, cahaya terbias hangat oleh taqwa yang taat.
  Â
Dunia tak pernah tidur, Nak
      DIA terus mencatat dan menyaksi laku diri di muka bumi yang kian ringkih. Remuk redam dendam bertebaran di jalanan. Seperti juga sedih kadang bertukar bahagia, sedetik kemudian terbias gelisah lalu menitik hati oleh nyeri.
      Tapi sungguh cinta-Nya tak pernah berkurang, terbagi rata pada laut, bumi, langit juga pada yang salih, pada yang ingkar bahkan pada yang murtad sekali pun. Memberi tak pilih-pilih, meski yang tetap bedoa karena cinta hanya segelintir saja.
Dunia tak pernah tidur, Nak
      Periksa segera kendi-kendimu, sudahkah terisi amal kebaikan, atau sesak oleh lembaran penuh kesombongan. Kematianmu sedang mencuri-curi pandang, kapan waktu itu tiba, tak satupun kekuatan mampu menolaknya. Kuningan, 070123
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H