Bab 2 Â Masalah di Tapal Batas
Hari itu cukup cerah untuk meninggalkan rumah pagi-pagi dan memulai petualangannya sendiri. Taja yang cantik namun mandiri dan berani, tentu tak kesulitan untuk bepergian ke hutan atau wilayah padang pasir tanpa dijaga siapapun. Ia berangkat menggunakan kuda kesayangannya, Hammon, setelah berpamitan kepada ibunya.
Masih terngiang pesan sang ibu, "Jangan sampai kemalaman, Nak! Ayahmu sedang tidak ada di rumah." Taja hanya mengangguk sambil melambaikan tangan di atas kudanya. Entah, apakah gadis itu mendengar teriakannya atau tidak, tapi Taja sudah terbiasa untuk memahami dan melaksanakan tugas-tugas selama kepergian ayahnya, Dyma. Jadi, ibunya tidak terlalu khawatir.
Berbekal makanan dan minuman seadanya, Taja menuruni bukit, menyusuri jalan menuju pemukiman penduduk yang lebih padat daripada di wilayah tempat tinggalnya. Ia ingat bagaimana terakhir kali membekuk pencuri kue di pasar, yang tak lain hanyalah seorang bocah laki-laki yang kelaparan, hidup nestapa karena ditinggal wafat ibundanya. Atau pemandangan tragis tiga minggu lalu, ketika rombongan keluarga yang sedang berduka mengantar jenazah anaknya. Putra mereka wafat setelah terlibat perang antar suku yang sebenarnya jarang terjadi.
Dalam hati, Taja lebih tertarik pada masalah seperti ini, ketimbang terlalu memikirkan calon suami. Bayangan tentang figur seorang lelaki masih jauh dari hasratnya sebagai perempuan yang ingin menjadi lebih dari sekadar ibu rumah tangga. Sang Ibu, Miszha, memang menjadi teladan baginya, dan seorang ibu rumah tangga tentu sangat mulia, namun cita-citanya yang bahkan lebih tinggi dari remaja laki-laki manapun di desanya, tidak bisa dibendung lagi. Taja, sangat mengerti dengan apa yang ia inginkan di masa depan.
"Taja! Berhenti!" Seruan itu memaksanya untuk menarik tali kekang di tangannya, menghentikan laju kudanya.
Kuda itu meringkik, kemudian berhenti, tepat pada saat orang tersebut mencapai Taja. "Katakan, Mia, apa yang kau inginkan?" tanyanya, setelah mengenali seorang gadis yang terengah mengejarnya.
"Rombongan ayahmu sudah meninggalkan desa?" Gadis berusia sebaya dengannya itu malah balik bertanya.
"Seharusnya. Ada apa?"
"Dia membawa kekasihku, Amran. Padahal sebentar lagi kami akan bertunangan!" Nada suara Mia meninggi, menandakan bahwa dia sangat marah. "Jangan samakan aku dengan dirimu yang tidak suka pria dan tidak menikah. Kau dengar? Sebaiknya susul ayahmu dan bilang padanya agar tidak melibatkan Amran!"