Panas terik menghiasi bumi saat ini, peluh bercucuran dari para pedagang di pasar. Dengan sabar menunggui barang dagangannya di bawah limpahan sinar dari sang surya.
"Panas retung mba, tapi corona dadi ora betah kiye lagi pada dipateni srengenge panas banget," celoteh penjaja pala pendem.
("Panas sekali mba, tapi corona jadi gak betah ini sedang dibunuh sama panasnya matahari,")
Dengan peluh tak henti menetes, hamparan singkong, ketela, uwi, talas dan hasil kebun lainnya masih teronggok belum banyak yang laku. Padahal mentari telah berada di ujung kepala, dia tetap sabar menanti pembeli yang membutuhkan.
Memang benar saat ini pembeli di pasar tak seramai biasanya, banyak pedagang bengong dengan dagangan menumpuk di depannya. Semua mengalami keprihatinan karena wabah, ingin segera lepas dari rasa mencekam yang tengah terjadi.
"Melas akeh wong pada kencoten ora bisa madang mba, angel luruh duit jamane kaya kiye ora olih mayeng-mayeng," tambah penjual tersebut sambil menimbang singkong yang sudah saya pilih.
("Kasihan banyak orang kelaparan gak bisa makan mba, susah cari uang jaman seperti ini tidak boleh pergi-pergi,")
Hidup di tengah pageblug banyak sekali cobaan terutama perekonomian rakyat, banyak yang sudah makin merasakan tercekik oleh kebutuhan sedangkan tak ada pemasukan. Apalagi bagi pedagang kecil yang modalnya sedikit tapi tidak bisa berputar hariannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H