Menjadi seorang guru adalah pekerjaan yang sangat mulia, namun hal tersebut tidak pernah menjadi cita-cita saya sejak kecil, berbeda dengan teman-teman saya yang lain ketika duduk di bangku Sekolah Dasar kelas1, jika ibu atau bapak guru bertanya kepada siswa tentang cita-cita, maka serentak teman-teman pasti menjawab dengan beragam jawaban yang lazim di telinga, “ Saya mau jadi dokter bu,”, “ saya mau jadi pilot bu”, “ saya mau jadi polisi bu” “ jadi guru bu,” dan beragam jawaban yang lain,
Sejak kecil saya selalu memimpikan untuk menjadi seorang yang sibuk mengutak-atik barang –barang elektronik, yang sibuk memperbaiki barang-barang elektronik yang rusak, sampai akhirnya bagus kembali, saya tidak tahu apa nama cita-cita saya waktu itu, yang saya tahu adalah istilah tukang service, hehehe,,,ternyata SMA baru saya tahu, kalau jurusan untuk itu ternyata ada dan namanya adalah jurusan teknik elektro atau elektronika, sebuah cita-cita yang ternyata ditentang oleh orang tua saya, hingga pada akhirnya saya “Terpaksa” kuliah di jurusan matematika Universitas Negeri Makassar, sebuah keterpaksaan yang akhirnya menjadikan hati merasakan kepuasaan jika bertemu dan mengajar dengan hati.
Kisah saya dimulai dari sini, ........tahun 1990
( Mengingat kembali memori yang lama namun masih membekas di hati).Masuk Sekolah Dasar tanpa bekal PAUD atau TK membuat saya sedikit kewalahan dibanding teman-teman saya yang lain, sebenrnya saya pernah masuk Taman Kana-kanak, namun hanya sebulan saya bosan dengan itu-itu saja, saya lebih merasa nyaman jika bermain bersama dengan teman sebaya di rumah atau dihalaman rumah. Suatu contoh yang kurang patut untuk diikuti. Duduk di bangku Kelas Satu SD belum banyak yang bisa saya katakan ada kenangan, setiap malam saya selalu diajari ulang oleh Bapak saya membaca dan berhitung, karena saat itu belajar membaca masih dengan metode mengeja, beda saat ini banyak metode cara cepat membaca, sehingga siswa mudah untuk mengenal huruf dan merangkai huruf. Kelas satu terlewati dengan aman dan saya meraih peringkat III, masih belum memuaskan untuk ukuran siswa yang terbilang aktif di kelas.
Naik kelas Dua SD terjadi perubahan yang sangat drastis, saya duduk di kelas 2A, dengan wali kelas yang sangat tidak bersahabat, wali kelas sekaligus guru kelas yang setiap hari bertemu, namun cukup membuat hati dan perasaan sangat tidak nyaman, saya benar-benar heran,kenapa guru seperti itu tidak dipecat atau dilapor ke polisi, saya betul-betul tidak bisa melupakan perlakuan guru kami itu terhadap siswanya, sikap tempramental yang ia miliki, mengikis sedikit-demi sedikit rasa percaya diri serta motivasi dan semangat belajar kami, kami tidak berani melapor baik kepada kepala sekolah atau orang tua kami,karena kami masih kecil belum tau protes dan mungkin juga karena pada waktu itu belum ada yang namanya komnas HAM perlindungan anak, setiap hari kami dapat marah, baik itu masalah sepele ataupun karena tugas yang kami kerjakan tidak seluruhnya benar. Atau masalah-masalah yang seharusnya cukup dengan menegur atau memberi nasihat, akan membuat kami sadar dan memperbaiki sikap, tapi ini malah membuat kami semakin bingung untuk melakukan sesuatu.
Wali kelas saya di kelas dua, cukup membuat prestasi saya menurun, saya hanya bisa meraih peringkat enam, mungkin karena faktor psikologis kami yang terganggu, dimana di usia-usia perkembangan seperti itu seharusnya kami diberikan perhatian dan kasih sayang lebih agar kami tumbuh menjadi anak yang cerdas dan kreatif, namun yang kami terima malah sebaliknya, juga faktor kehadiran saya yang kurang dari 80% karena saya sempat sakit dan dirawat sehingga saya tidak full menerima pelajaran dan tertinggal banyak di sekolah, belum lagi sikap pilih kasihnya terhadap siswa tertentu, betul-betul membuat kami sangat bosan dan sangat lama merasakan satu tahun di bangku kleas dua.
Tiba saatnya pengumuman kenaikan kelas, dan alhamdulillah, kami semua naik ke kelas tiga, namun kali ini kembali di roling, saya duduk di kelas 3B, dengan wali kelas bernama Ibu Rosdiana, meskipun beliau sudah Almarhumah namun semua yang pernah diajarkan dan semua yang menjadi kenanganmasih terpatri dengan baik di hati sanubari, begitulah mungkin jika hal sederhana namun berkesan baik akan senantiasa memberikan pengaruh dan ion posiitif meskipun hal tersebut sudah lama menjadi kenangan.
Kenangan di kelas dua masih terus membekas setiap hari, sehingga masah ada rasa takut pada proses pembelajaran di kelas jika kami melakukan kesalahan. Rasa percaya diri saya yang terkikis masih sulit untuk dibangun kembali. Rasa takut daan trauma masih terus membayangi hari-hari saya. Hari itu hari Rabu, kami belajar matematika ( saya masih ingat kronologis kejadiannya)
Suasana: Ruang kelas 3B sedang belajar materi penggunaan simbol “<” “>” atau “ “=”. Ibu Rosdiana telah memberikan pengantar dan memberikan beberapa contoh, kemudian memberikan kami soal senayak 10 nomor untuk dikerjakan di kelas.
Waktu berlalu kami tealh mengumpulkan tugas yang telah kami selesaikan.
Ibu Rosdiana: Memanggil satu-persatu siswa dan membagikan kembali buku latihan kami.
Vera: “ Astagfirullah” semua jawaban saya salah dan saya tidak mendapat nilai
apapun,
Suasana: Kelas mulai gaduh, karena nilai kami semua bervariasi, ada yang semua jawabannya benar, satu salah, tetapi.....Ya Allah.....badan saya mulai dingin melihat buku saya disana semua jawaban saya tak satupun yang benar.
Semua jawaban saya salah dan terbalik, saya tahu waktu itu saya memang belum terlalu Paham akan materi tersebut, saya masih ingat satu soal, 11......21, semua titik-titik diisi dengan tanda Kurang dari atau Lebih dari, dan saya mengisinya dengan 11 > 21, karena saya punya pemikiran bahwa 11 itu jika dibandingkan dengan 21 nilainya kecil sehingga tanda “>” berarti 21 lebih besar dari 11, sungguh sangat membingungkan. Karena itulah yang saya pahami saat itu. Akhirnya semua jawaban saya Salto, alias salah total.
Vera: “ Bagaimana sebentar jika Ibu saya memeriksa buku saya sepulang sekolah?”, rasa-rasanya saya mau menghilang. Ya Allah, bagaimana saya bisa menjelaskan ini ke orang tua saya, karena menjadi kebiasaan mereka untuk kembali memeriksa semua buku yang kami gunakan pada hari itu, sekedar mengecek dan memantau perkembangankami di sekolah.
Suasana : Bel istirahat Berbunyi, semua anak-anak berhamburan keluar kelas untuk menikmati jam istirahat, tibalah saya sendiri berdiri bersandar di dinding kelas dekat dengan pintu, sekitar 5 menit saya tertunduk dan tak ada gairah untuk bermain, ternyata dari jauh Ibu Rosdiana memperhatikan tingkah saya, Beliau mendekati saya sambil Mengelus kepala saya,
Ibu Rosdiana : “ kenapa Tidak main, atau pergi jajan Na’?”
Vera: sambil terus tertunduk, saya hanya menggelengkan kepala
Ibu Rosdiana: “ Kenapa Na’? kamu sakit?.” Sambil memegang jidat saya
Vera: “ Tidak Bu, sambil terisak karena tidak bisa membendung rasa haru, “ saya takut sama ibu Bu, takut sama Bapak, kalau sebentar saya dimarahi karena nilai saya hari ini sangat jelek”
Ibu Rosdiana: “ tidak perlu takut na, nanti ibu akan jelaskan kembali dan akan bantu kamu menyelesaikannya dengan benar, pasti kamu akan lebih paham,” sekarang jangan sedih lagi ya, lebih baik kamu jajan dulu sama teman-teman yang lain.”
Vera: “ saya tidak pernah jajan bu, ibu saya selalu membungkuskan saya kue-kue yang ada di rumah, tapi sepertinya tadi pagi mama saya lupa bu, saya tidak pernah diberi uang jajan sama mama karena kakak-saya juga banyak biaanya ongkos ke sekolah Bu” karena saya adalah anak bungsu dari 8 bersaudara dan perekonomian orangtua saya saat itu sangat memprihatinkan, jadi tak ada kata meminta, kecuali diberi oleh mama.
Ibu Rosdiana: “ Kalau begitu hari ini saya yang traktir, sekarang ambil uang ini (saat itu Rp.50) nilai uang yang sangat banyak, bisa buat bei singkong dan es lilin. Tapi janji jangan sedih dan terus belajar, ya, kesalahan yang tadi anggap kamu tidak serius belajar, tapi jangan diulangi lagi ya.
Vera: “ Tidak usah Bu, nanti pulang sekolah baru saya makan di rumah”
Ibu Rosdiana : “ sudah, tidak apa-apa, sekarang jajan saja dulu biar perut kamu ada isinya.”
Vera:” Makasih BU,” sambil mengusap air mata, saya berlari kegirangan, faktor utamanya bukan karena saya ditraktir, tetapi sepertinya ada semangat yang luar biasa memasuki perasaan saya, rasa percaya diri saya mulai kemabli muncul, motivasi belajar saya sangat memuncak, Horee...mungkin inilah syang dimaksud semaangat yang Luar Biasa.
Hari berganti minggu, berganti bulan, saya semakin bersemangat belajar dan tertantang untuk semakin aktif di kelas, dan alhasil saya berhasil memperoleh peringkat I pada cawu IV, sebuah prestasi yang sungguh membuat saya puas pada saat itu sebagai belak untuk naik ke kelas IV
Banyak hal yang saya pelajari dari kisah saya ini, sejak menjadi guru kadang saya kembali mencari dua sosok yang saya ceritakan sebelumnya, yaitu sosok yang lembut penuh kasih sayang dan sosok yang arogan serta tempramental, sekedar untuk membandingkan pengaruh motivasi belajar anak jika berhadapan dengan sosok guru yang berbeda karakter.
Dinas pendidikan Kabupaten Sinjai, yaitu Hj. Mas Ati juga pernah berungkap pada sela-sela pertemuannya dengan guru-guru bahwa, beliau pernah diperhadapkan dengan siswa yang “ sangat Nakal” tanpa bertanya apa masalah anak tersebut sampai senakal itu, beliau hanya mengelus-elus kepala anak tersebut sontak anak tersebut menangis tersedu-sedu. Guru yang pernah belajar ilmu kejiwaan pasti paham ternyata anak ini masalahnya Cuma karena kurang kasih sayang, maka beliau menyarankan untuk semua guru, jangan terlalu sering marah terhadap anak, karena di rumah mungkin anak sudah banyak mendapat perlakuan marah oleh orang sekitanrnya, malah ditambah lagi perlakuan guru yang tidak bersahabat sehingga anak bingung sebenarnya dia mau mengadu kemana jika ada masalah,
Anak-anak kadang rendah prestasi belajarnya bukan karena tingkat intelegensinya rendah tetapi anak tersebut butuh banyak perhatian, agar termotivasi untuk belajar dengan giat.
Seperti kutipan kata mutiara berikut
Kasih itu sederhana sesederhana saat kita memberrikan senyuman, meskipun kita sedang sedih… Sesederhana saat kita memberi maafmeskipun kita terluka …sesederhana saat kita memberi perhatian meskipun kita terabaikan.
Hal sederhana yang mampu membawa perubahan yang besar.. semoga kisah ini mampumengisnpirasi guru untuk bekerja keras, kerja cerdas dan kerja ikhlas, dan megajar dengan hati karena yang kita hadapi adalah manusia-manusia yang punya akal dan hati. Terima kasih
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H