1.Latar Belakang Konflik Regional antara China dan Taiwan
Konflik antara China dan Taiwan berakar pada perbedaan ideologi politik yang terbentuk setelah Perang Saudara China pada tahun 1949. Setelah Partai Nasionalis Kuomintang dikalahkan oleh Partai Komunis Tiongkok, pemerintahan KMT di bawah Chiang melarikan diri ke pulau Taiwan dan pemerintahan Republik Tiongkok di sana.
Taiwan menganut sistem ekonomi pasar bebas dan nilai-nilai liberal seperti kebebasan individu, politik, dan hak asasi manusia. Beijing menegaskan bahwa Taiwan tidak dapat dipisahkan dari Tiongkok dan harus bersatu kembali, bahkan kekuatan militer jika diperlukan.
Sebaliknya, Taiwan memiliki identitas nasional yang berbeda dari China daratan dan menganggap dirinya sebagai negara berdaulat. Sebagian besar orang Taiwan, terutama generasi muda, lebih suka menyebut diri mereka sebagai "orang Taiwan" daripada "orang China".
Sementara Taiwan berusaha mempertahankan hubungan tidak resmi dengan negara lain dan mencari pengakuan internasional, RRT menggunakan kekuatan ekonomi dan diplomatik untuk mengisolasi Taiwan dari dunia. Ketidaksepakatan ideologis antara China dan Taiwan terus menimbulkan konflik di Asia Timur.
2.Landasan Teori
Dari sudut pandang realisme, konflik ini dapat digambarkan sebagai pertarungan dua kekuatan politik tentang kepentingan dan kekuasaan bangsa. Dengan menjadi negara yang lebih besar dan kuat, China ingin menyatukan kembali Taiwan ke dalam wilayahnya. Sementara itu, Taiwan berusaha mempertahankan kedaulatannya.
Dengan mengingat bahwa realisme menekankan pentingnya keamanan nasional, tindakan China dalam melakukan latihan militer di sekitar Taiwan dan upaya Taiwan untuk memperkuat pertahanan dengan bantuan AS dapat dijelaskan dengan cara ini. Teori ini juga dapat menjelaskan mengapa negara-negara lain, terutama AS, terlibat dalam konflik ini untuk menjaga keseimbangan kekuatan di Asia Timur.
Sebaliknya, Teori konstruktivisme menawarkan perspektif yang berbeda tetapi sama pentingnya. Identitas, norma, dan konsep membentuk kepentingan dan perilaku negara, menurut teori ini. Konstruktivisme dapat menjelaskan bagaimana identitas nasional yang berbeda telah muncul di China dan Taiwan secara historis.
Taiwan memiliki nilai-nilai, sistem demokrasi, dan identitas yang berbeda dari China daratan. Narasi "satu China" tetap menjadi bagian dari identitas nasional China. Konstruktivisme juga dapat menjelaskan bagaimana interaksi sosial dan wacana politik membentuk dan mempertahankan persepsi ancaman antara kedua belah pihak.
3.Kajian Teori
Karena ideologi politik dan klaim kedaulatan yang saling bertentangan, konflik antara China dan Taiwan memiliki dasar yang kompleks. Beberapa peneliti telah menyelidiki masalah ini dari sudut pandang yang berbeda:
Luo Qi (2000) dalam jurnalnya "China-Taiwan Relations and Implications For Security of Southeast Asia" menjelaskan evolusi hubungan China-Taiwan melalui tiga tahap: konfrontasi militer (1949-1978), hubungan ekonomi dan budaya (1979-1994), dan interaksi ekonomi dengan ketegangan politik (1995-sekarang). Qi menekankan bahwa konflik berkelanjutan antara kedua pihak dapat mempengaruhi stabilitas Asia Timur dan Asia Tenggara.
Chi Chung (2008) dalam bukunya "Conflict of Rules Between China and Taiwan and Their Significance" menganalisis aspek hukum dari konflik ini. Chung berpendapat bahwa "Tiongkok dan Taiwan harus memiliki aturan hukum terlepas dari perselisihan kedaulatan kedua negara tersebut," menyoroti pentingnya kerangka hukum dalam mengelola hubungan lintas selat.
Gang Lin dalam artikelnya "Beijing's New Strategies toward a Changing Taiwan" membahas strategi politik China terhadap Taiwan. Lin menjelaskan bahwa "China memiliki strategi politik untuk terlibat dengan partai KMT yang berkuasa di Taiwan untuk mencapai reunifikasi," menunjukkan upaya China untuk mempengaruhi politik internal Taiwan.
Dimas Aryo Wibowo (2024) dalam artikelnya di Kumparan membahas kebijakan "One China Policy" dan dampaknya terhadap hubungan China-Taiwan. Wibowo menyatakan bahwa "One China Policy dibuat agar terjadi sebuah reunifikasi antara pulau utama China dan Taiwan," menggambarkan tujuan strategis China dalam kebijakannya terhadap Taiwan.
Lindsay Maizland (2022) dalam artikelnya "Why China-Taiwan Relations Are So Tense" yang diterbitkan oleh Council on Foreign Relations, menjelaskan bahwa "Taiwan telah dikelola secara independen dari China sejak 1949, tetapi Beijing memandang pulau itu sebagai bagian dari wilayahnya." Maizland menyoroti akar historis konflik dan implikasinya terhadap hubungan internasional.
Konflik China-Taiwan memiliki banyak aspek sejarah, politik, hukum, dan sosial, seperti yang ditunjukkan oleh analisis literatur ini. Para peneliti menekankan betapa pentingnya memahami bagaimana hubungan lintas selat berkembang, bagaimana kedua belah pihak menggunakan strategi politik, dan bagaimana konflik memengaruhi stabilitas regional dan global.
Hubungan antara demokrasi Taiwan dan sistem komunis China selalu terganggu oleh perbedaan ideologi mereka. Ini termasuk interpretasi yang berbeda dari "Politik Satu China".
4.Konflik China-Taiwan: Perkembangan Terkini di 2023-2024
Ketegangan antara China dan Taiwan terus meningkat pada 2023 hingga 2024, menyoroti konflik ideologi dan geopolitik yang semakin kompleks. Dengan situasi global yang sensitif, dinamika konflik ini memberikan dampak signifikan terhadap stabilitas Asia Timur dan dunia.
5.Perkembangan di Tahun 2023-2024
Pada tahun 2023, China meningkatkan tekanan terhadap Taiwan melalui latihan militer yang agresif di Selat Taiwan, termasuk simulasi invasi yang dilakukan oleh Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) pada bulan April 2023.
Tindakan ini dilakukan setelah kunjungan diplomatik Presiden Taiwan, Tsai Ing-wen, ke Amerika Serikat yang memicu respons keras dari Beijing. Pada Agustus 2024, RRT kembali menggelar latihan militer besar-besaran di wilayah yang dekat dengan perairan Taiwan, sebagai unjuk kekuatan dan pesan tegas terhadap kebijakan pro-kemerdekaan yang diusung oleh pemerintahan Taiwan.
Di sisi lain, Taiwan, yang telah mempersiapkan diri untuk menghadapi ancaman ini, mendapatkan dukungan signifikan dari Amerika Serikat. Tahun 2024 menyaksikan peningkatan penjualan senjata dari AS ke Taiwan, termasuk pengiriman sistem pertahanan udara canggih seperti Patriot dan rudal HIMARS. Dukungan ini bertujuan untuk memperkuat kemampuan Taiwan dalam menghadapi ancaman invasi militer dari Beijing.
6.Amerika Serikat dan Kebijakan Ambiguitas Strategis
Sejak 2023, AS mempertahankan kebijakan ambiguitas strategisnya tetapi menunjukkan sikap lebih proaktif dalam mendukung Taiwan. Pada Oktober 2023, Presiden Joe Biden menegaskan kembali bahwa AS akan mendukung Taiwan dalam hal terjadi konflik militer dengan China, meskipun Gedung Putih mengklarifikasi bahwa kebijakan resmi AS terhadap kebijakan “Satu China” tidak berubah.
Peningkatan penjualan senjata, bersama dengan kunjungan diplomatik pejabat AS ke Taiwan pada awal 2024, memicu ketegangan lebih lanjut dengan Beijing.
7.Respon Internasional
Komunitas internasional tetap terbagi dalam menyikapi konflik ini. Pada Januari 2024, negara-negara anggota BRICS, termasuk China, menyuarakan dukungan terhadap prinsip “integritas teritorial” yang menjadi dasar kebijakan RRT terhadap Taiwan. Sementara itu, Jepang dan Korea Selatan secara terbuka mendukung stabilitas di Selat Taiwan dengan mendesak dialog diplomatik untuk menghindari eskalasi militer.
Taiwan juga terus berupaya memperluas partisipasi internasionalnya. Meski Beijing berhasil memblokir keikutsertaan Taiwan dalam Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada Mei 2023, dukungan terhadap Taiwan dari negara-negara demokratis terus meningkat, dengan fokus pada prinsip kemandirian dan hak menentukan nasib sendiri.
Tahun 2023-2024 memperlihatkan bahwa konflik China-Taiwan tetap menjadi salah satu isu geopolitik paling krusial. Dengan meningkatnya latihan militer China, dukungan Amerika Serikat terhadap Taiwan, dan perpecahan sikap di kalangan komunitas internasional, situasi ini mengindikasikan bahwa jalan menuju perdamaian masih jauh dari kata pasti. Ketegangan ini menuntut pendekatan diplomatik yang hati-hati untuk mencegah eskalasi konflik bersenjata yang berpotensi memengaruhi stabilitas global.
Konflik antara Tiongkok dan Taiwan berakar kuat pada perselisihan ideologis yang muncul dari Perang Saudara Tiongkok pada tahun 1949, yang menghasilkan pembentukan Taiwan sebagai negara terpisah dengan norma dan identitas demokrasinya sendiri. Sementara Tiongkok menganggap Taiwan sebagai bagian integral dari wilayahnya, Taiwan mengklaim kedaulatannya dan mencari pengakuan internasional.
Kerangka kerja teoretis seperti realisme dan konstruktivisme menjelaskan masalah yang kompleks ini. Realisme berfokus pada dinamika kekuasaan dan masalah keamanan nasional, sedangkan konstruktivisme menekankan pada peran identitas dan interaksi sosial dalam menentukan persepsi dan perilaku.
Perkembangan terbaru dari tahun 2023 hingga 2024 menunjukkan eskalasi ketegangan yang substansial, yang ditandai dengan latihan militer yang agresif oleh China dan peningkatan dukungan militer untuk Taiwan oleh AS. Amerika Serikat mempertahankan strategi ambiguitas strategis sambil secara aktif mendukung Taiwan melawan ancaman prospektif.
Komunitas internasional masih terpecah, dengan beberapa negara mendukung integritas teritorial Tiongkok dan negara lainnya berkampanye untuk otonomi Taiwan. Ketegangan yang terus berlanjut menekankan pentingnya upaya diplomatik untuk mencegah eskalasi militer dan menjaga stabilitas regional.
Secara keseluruhan, konflik Tiongkok-Taiwan adalah masalah geopolitik penting yang harus dikelola dengan hati-hati untuk menghindari konfrontasi yang lebih besar dengan konsekuensi global.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H