Mohon tunggu...
Veraditias Apriani
Veraditias Apriani Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Sedang belajar...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Orang Jawa Jangan Segan Berlatih Bahasa Krama

24 Januari 2018   23:18 Diperbarui: 25 Januari 2018   07:53 3325
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Banyak orang bisa berbahasa Jawa, tapi yang bisa berbahasa krama? Iya, jarang sekali. Orang Jawa bahkan banyak yang dapat berbahasa asing dengan fasih, tapi tidak bisa berbahasa krama. Padahal bahasa krama itu santun sekali. Bahasa Jawa itu banyak tingkatannya. Ada bahasa ngoko (biasa), krama alus, dan krama inggil (krama yang paling halus).

Penggunaan bahasa jawa krama biasanya ditujukan untuk lawan bicara kita. Bahasa ngoko, kita gunakan untuk berbicara sehari-hari dengan teman sebaya. Bahasa krama aluskita gunakan untuk orang yang lebih tua, sedangkan krama inggiljuga digunakan untuk berbicara kepada orang yang lebih tua, terutama yang kurang kita kenal. Bahkan krama inggiljuga sering digunakan pada acara-acara resmi. Setidaknya itulah kebiasaan orang-orang di sekitar saya dalam menerapkan bahasa krama. Benar, saya orang Jawa.

Tahun lalu, saya -- yang merupakan mahasiswa tingkat akhir ini -- melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Kabupaten Pemalang Jawa Tengah. Saya tinggal di rumah kepala desa. Tentu kami banyak berinteraksi, terutama dengan anak laki-laki Pak Kades yang masih berusia 4 tahun.

Anak itu membuat saya dan teman-teman kebingungan ketika pertama menyapa panjang lebar menggunakan bahasa Indonesia dan anak itu tidak mengerti. "Bapak, niku sinten?" tanyanya kepada Pak Kades yang kemudian memperkenalkan kami. Teman-teman saya yang bukan orang Jawa tidak mengerti. Iya, anak itu berbicara menggunakan bahasa krama. Tidak hanya kepada orang tuanya. Bahkan saya melihat anak itu berinteraksi dengan teman sebayanya menggunakan bahasa krama. Di satu sisi lucu karena masih belum fasih melafalkan kata-kata dengan benar, tapi di sisi lain, anak ini hebat sekali.

Saya yang sedikit-sedikit dapat berbahasa krama bisa dengan mudah berinteraksi dengan anak itu, tak jarang bahkan harus menerjemahkan kata-katanya ke teman-teman saya. Tapi saya merasa malu, karena terkadang kehabisan kata-kata untuk membalas anak itu. Iya, bahasa krama yang jarang diterapkan ternyata membuat kita lupa kosakata, jadi kurang terampil. Seperti halnya kita berbicara bahasa Inggris.

Lalu yang paling lucu adalah ketika anak Pak Kades marah. Namanya anak kecil, seringkali ngambekke orang tua karena keinginannya tidak dituruti. Tapi kalau marah dan menggerutu pakai bahasa krama? Menggemaskan sekali, marah tapi santun dan elegan. Malu bukan, kita bahkan kalau marah dan mengumpat sering mengucapkan kata-kata kurang sopan? Inilah keindahan bahasa krama yang dapat menciptakan suasana harmonis.

Selain itu, bahasa krama ternyata memudahkan kita berinteraksi dengan orang tua, terutama lansia. Beberapa bulan yang lalu saya kerja praktik di rumah sakit. Tentu berinteraksi dengan pasien. Sebagian besar pasien adalah lansia. Banyak sekali yang tidak dapat berbahasa Indonesia.

Saya adalah mahasiswa gizi, jadi ketika berinteraksi dengan pasien, pasti akan banyak berbicara. Tidak seperti dokter maupun perawat, ahli gizi banyak mewawancarai pasien di rumah sakit berkaitan dengan makanan yang akan diberikan. Bahkan dalam asuhan gizi, ahli gizi nantinya akan menerapkan edukasi serta konseling ke pasien dan keluarganya.

Pernah suatu kali saya mendapat pasien yang berusia di atas 70 tahun. Berbicara saja sudah tidak jelas, ditambah memakai bahasa krama inggil. Bukan tidak mungkin juga kalau lansia, sedang sakit pula, bicaranya tidak nyambung. Saya tanya apa, beliau jawab apa. Dan ini gawat sekali kalau sampai saya salah mengerti dan gagal memberikan diet, karena berkaitan dengan nyawa seseorang. Setelah itu, saya harus memberikan edukasi menggunakan bahasa krama. Kebayang tidak, materi tentang suatu penyakit yang ilmiah sekali harus diterjemahkan menjadi bahasa jawa krama dalam waktu cepat?

Ah, itu tantangan sekali. Kita tidak bisa begitu saja mutung(menyerah) di tengah jalan. Mereka yang mungkin kurang tahu ilmu kesehatan dibanding kita, mempercayai kita sepenuhnya, menyampaikan keluh kesah ke kita, lalu kita menyerah? Tidak bisa.

Sayang sekali, sekarang justru banyak sekolah-sekolah dasar yang sudah tidak memasukkan mata pelajaran bahasa Jawa lagi. Selain itu, banyak juga orang tua yang melatih anaknya berbahasa Indonesia sejak kecil, bukannya bahasa krama. Padahal kalau sudah besar nanti, anak pasti otomatis dapat berbahasa Indonesia. Tapi kalau sudah terbiasa berbahasa Indonesia, pasti susah sekali untuk dapat berbahasa krama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun