Hasil Perhitungan Cepat Pilgub DKI putara 2 yang dilakukan oleh beberapa lembaga survey menunjukkan bahwa pasangan Jokowi-Ahok lebih unggul daripada pasangan Foke-Nara. Hal ini, menurut saya bukan suatu hal yang mengejutkan mengingat pada putara pertama, pasangan Jokowi-Ahok juga memperoleh suara yang lebih banyak ketimbang pasangan Foke-Nara. Meskipun demikian, tetap saja hasil perhitungan sementara tersebut setidaknya telah membuat kubu Foke-Nara terpukul. Betapa tidak, kubu incumbent benar-benar all out saat kampanye, baik di putara pertama maupun putara kedua. Akan tetapi hasilnya tetap saja sama.
Ada apa sebetulnya dengan masyarakat Jakarta? Apakah benar mereka telah jengah dengan kondisi ibukota ini dan perlu figur baru untuk me-refreshing program-program yang ada? Namun ada hal lain yang menarik yang perlu diperhatikan.
Pertama, selisih angka perolehan kedua pasangan tidaklah jauh berbeda. Selisih paling tinggi dari hasil quick count adalah sekitar 8 persen. Kedua, jumlah perolehan suara, jika diperhatikan tidak jauh berbeda dengan jumlah peroleh suara pada putaran pertama. Artinya sebagian besar pemilih adalah pemilih yang loyal kepada kedua pasangan dan hanya sedikit saja yang mengalihkan suaranya entah itu peralihan suara dari pasangan calon yang tidak lolos seleksi putara pertama atau peralihan silang suara dari kedua pasangan. Ketiga, angka golput masih tetap tinggi yaitu sekitar 30 persen. Meskipun angka ini mengalami penurunan sekitar 4 persen dari putara pertama namun tidak terlalu signifikan bukan?
Inilah hal menarik yang penulis maksud. Jika masyarakat Jakarta benar-benar menginginkan perubahan, lalu mengapa perolehan suara Jokowi-Ahok tidak unggul lebih banyak dan bahkan kedua pasangan hanya memperoleh tambahan suara yang hampir merata.
Terdapat beberapa alasan masyarakat yang penulis temukan di lapangan.
Pertama, Â tidak dapat dipungkiri bahwa isu SARA yang muncul pada periode kedua sebetulnya menguntungkan kedua pasangan calon. Mengapa demikian? Mari kita simak beberapa kasus berikut ini:
- Karena adanya isu SARA ini, pemilih di kantor saya terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok yang pro Jokowi-Ahok mengatakan bahwa tidak masalah memilih pemimpin yang salah satu pasangannya tidak se-iman karena hal ini juga pernah disarankan oleh Ali bin Abi Thalib, tokoh yang tidak diragukan lagi kualitas keislamannya. Kelompok yang pro Foke-Nara mengatakan, bahkan satu hari menjelang pemilihan, sebetulnya Jokowi itu bagus, akan tetapi dia salah memilih wakil karena dia (Ahok) dan kelompoknya (Cina) itu adalah biangnya kredit macet jadi bagaimana nasib masyarakat Jakarta jika pada suatu saat Jokowi tidak mampu lagi melanjutkan kepemimpinan dan Ahok menjadi penggantinya?
- Pemilih di tempat tinggal penulis yang pada putaran pertama memilih Foke-Nara mengatakan bahwa selama kepemimpinan Foke tidak ada konflik agama dan bahkan pihak Gereja (Tiberias) sendiri mengusulkan memilih Foke. Sayangnya ketika isu SARA berhembus, mereka menjadi beralih pada Jokowi-Ahok karena pencitraan yang muncul adalah pasangan Foke-Nara cenderung arogan.
- Kondisi ini berkebalikan dengan kondisi di tempat tinggal saudara penulis dimana salah satu saudara penulis aktif di majelis taklim. Menurut pengakuannya, majelis taklim tersebut pernah dikirimi "surat cinta" dengan amplop sebesar surat lamaran yang isinya anjuran untuk memilih pemimpin yang se-iman yang ujung-ujungnya mengerucut pada salah satu pasangan. Dampaknya, sang pemimpin majelis taklim menyatakan pilihannya pada salah satu pasangannya calon dan tentunya mengajak angggota majelis taklim tersebut untuk memberikan pilihan yang sama.
- Hal tersebut juga tidak jauh berbeda dengan yang terjadi di kampung tetangga tempat penulis tinggal. Pada suatu malam beberapa hari menjelang pemilihan, dalam rangka pembukaan pengajian, diumumkan di masjid tersebut bahwa dia mendapat surat himbauan dari kelompok pengajian pusat bahwa umat yang tergabung dalam pengajian tersebut sebaiknya memilih pasangan yang berakidah Islam. Sebagai catatan, ketika putaran pertama, di kampung ini memang banyak simpatisan Hidayat-Didik.
Kedua, kampanye money politic juga sebetulnya masih berdampak pada pilihan masyarakat. Ada yang merasa harus memilih pasangan tersebut karena telah menerima barangnya dan ada pula yang tidak terpengaruh meski tetap menerima barangnya. Inilah fakta yang penulis temukan: