Kabar mengenai Ibu Risma sebagai Walikota Surabaya yang berprestasi, sudah pernah saya dengar sekitar satu atau dua tahun yang lalu. Pada saat itu, saya kurang memperhatikan sosok dan sepak terjang Sang Walikota. Saya hanya membayangkan sosok seorang perempuan ambisius dengan penampilan modis ala kota metropolitan. Betapa terkejutnya saya ketika berkesempatan mengenal sosok Ibu Risma walaupun hanya melalui layar televisi. Bukan sosok perempuan ambisius dan berpenampilan modis yang saya lihat, tetapi seorang ibu sederhana dengan visi kepemimpinan yang mengedepankan kepentingan rakyat. Seorang pemimpin yang religius dan memiliki hati nurani.
Ibarat seorang ibu, beliau--tanpa diminta--berusaha mencari tahu dan memenuhi kebutuhan anak-anaknya, dalam hal ini adalah warga Kota Surabaya. Hati seorang ibu pula yang mendorong keinginan beliau untuk menutup lokalisasi prostitusi Gang Dolly. Hati ibu mana yang tidak akan hancur ketika melihat kenyataan anak-anaknya terlibat prostitusi, sebuah dunia kelam tanpa masa depan. Apabila Ibu Risma mengundurkan diri sebagai walikota, apa yang akan terjadi dengan generasi muda Surabaya? Apakah Gang Dolly tidak akan pernah ditutup? Apakah pengganti Bu Risma akan terus memperjuangkan cita-cita beliau?
Kesan lain yang dapat saya tangkap adalah religiusitas Ibu Risma. Beliau berusaha melakukan tugasnya dengan baik karena beliau takut kepada Tuhan. Beliau berulang kali menekankan hal tersebut dalam sebuah dialog di TV. Pemimpin yang takut kepada Sang Penciptanya akan berusaha semampunya menjalankan amanah yang diembannya. Religiusitas juga menyebabkan hati seseorang menjadi lembut, terbuka dan bijaksana.
Saya hanya mengenal Ibu Risma melalui layar televisi dan media-media berita yang lain. Kesan yang lebih tepat tentunya berasal dari warga Kota Surabaya sendiri. Kebetulan di kantor saya ada seorang teman yang berasal dari Surabaya. Teman tersebut berpendapat bahwa walikotanya adalah seorang pemimpin sejati. Beliau merupakan pemimpin yang mau bertanggung jawab pada rakyatnya, pemimpin yang merasa bersalah jika ada rakyatnya yang kelaparan. Menurut teman saya juga, Bu Risma itu merupakan orang yang mau ikut merasakan penderitaan orang lain, dan berusaha mengatasinya dengan caranya sendiri. Cara tersebut kadang-kadang tidak biasa dilakukan oleh pejabat lain. Akhirnya, teman tersebut menyimpulkan bahwa Ibu Tri Rismaharini adalah sosok pemimpin yang diperlukan di indonesia.
Ah ya, kesan yang saya dapat ternyata tidak jauh berbeda dengan pendapat teman yang berasal dari Surabaya tadi. Andai saya dapat berbicara kepada Ibu Risma, saya ingin mengatakan: Bu Risma, semoga tangisan Ibu di TV bukan merupakan tangisan putus asa. Semoga itu merupakan tangisan untuk melepas sejenak beban berat yang Ibu emban, sebuah tangisan yang akan menguatkan langkah Ibu selanjutnya. Terus berjuang, Bu. Semakin tinggi sebuah pohon, maka akan semakin kencang pula angin yang menerpanya. Satu hal yang terpenting, Ibu jangan lupa melakukan kaderisasi. Supaya generasi penerus pemimpin Kota Surabaya memiliki semangat perjuangan yang sama dan dapat melanjutkan hal-hal baik yang telah dicapai. Bravo Bu Risma.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H