Beberapa waktu, di sebuah supermarket, tampak sepasang suami-istri sedang memilih mi instan Korea yang berada di sebuah boks khusus. Dari busana sang istri bisa ditebak mereka keluarga muslim. Sang suami mengambil sebungkus mi instan, dan mengamatinya. Saya yang berada di dekat mereka memberi tanda agar mereka membaca tulisan yang ada di atas deretan harga. Terterta “non halal”, tulisannya memang tidak terlalu mencolok, orang akan lebih fokus pada daftar harga, bukan pada peringatannya. Keduanya agak terkejut dan kemudian menyingkir dari boks tersebut.
Saat ini serbuan budaya Korea atau yang biasa disebut Hallyu (Korean Wave) tidak sebatas pada musik dan film. Drama-drama Korea begitu digandrungi, membawa budaya baru seperti fashion dan kulinernya. Mi instan Korea dalam dua tahun terakhir membanjiri supermarket-supermarket di Indonesia. Belum lagi yang dijual secara online.
Pada awal kehadirannya, mi instan Korea sepertinya masuk secara ‘gelap’. Tetapi kini sepertinya sudah ada importi resminya. Sekarang hampir semua mi instan Korea ada tambahan stiker petunjuk dan informasi produk berbahasa Indonesia dan jelas tercantum siapa importirnya.
Selain mi instan asal Korea, konsumen Indonesia juga punya pilihan lain seperti mi instan asal Jepang, Thailand. dan Malaysia. Mi instan Jepang sendiri saat ini banyak mengisi rak-rak supermarket. Sekilas agak sulit membedakan mana produk Korea mana yang dari Jepang. Tetapi urusan rasa, baik mi instan Korea maupun Jepang tidak jauh berbeda. Sama-sama punya citarasa oriental yang kental.
Back to topic, lalu bagaimana mengetahui mi instan luar yang termasuk kategori halal atau tidak? Karena bisa dijumpai juga produk-produk yang sepertinya tidak melalui importir resmi. Bagi masyarakat awam dipastikan sulit untuk tahu mi instan asal Korea atau Jepang itu halal. Problem ada pada bahasa, karena siapa yang bisa mengerti aksara Hangeul dan Kanji? Jika ada bahasa Inggrisnya mungkin jauh lebih baik seperti yang terdapat pada produk dari Malaysia atau Thailand. Di samping itu tidak ada label “Halal” yang biasa dikeluarkan oleh pemegang otoritas halal-haram dalam hal ini MUI.
Perlu kebijakan dan tanggung jawab manajemen supermarket agar secara ketat menempatkan produk non-halal mereka pada bagian khusus. Papan petunjuk dan label-label non-halal harus jelas dan mudah terbaca oleh konsumen. Jika perlu tempatkan petugas di area tersebut.
Dari sisi pemerintah, dalam hal ini Departemen Perdagangan atau pihak berwenang perlu mengawasi bagaimana pihak penjual menempatkan produk-produk mereka. Ini bagian dari tanggung jawab dan perlindungan terhadap konsumen.
Cuma ya harus hati-hati, perhatikan tanda dan tag apakah produk tersebut halal atau tidak. Juga jangan lupa perhatikan tanggal kadaluarsa. Kadang kita suka asal percaya saja. Apalagi berbelanja di supermarket besar yang sudah terkenal. Padahal, belum tentu juga bisa jadi jaminan. Jangan segan untuk bertanya kepada pengelola supermarket jika timbul keragu-raguan terhadap kehalalan produk.