Belum lima puluh tapi rambut di kepala sudah memutih. Ini yang membuat banyak orang suka gagal menebak berapa usia saya. Masak ada yang mengira saya sudah diatas 50-an.
Saya kalau menyisir jarang melihat cermin. Jadi kurang memperhatikan seberapa parah putihnya rambut saya sekarang. Pernah ketika akan ikut lomba paduan suara, saya disarankan untuk semir rambut. Tapi mengiyakan, tapi tidak melaksanakan. Paduan suara itu yang dinilai suara, bukan hitam putihnya rambut.
Kalau pangkas rambut, baru ‘ngeh’ kalau rambut saya memang sudah kelabu warnanya. Jelas sekali potongan-potongan rambut yang jatuh memang lebih banyak yang berwarna putih. Dan selalunya tukang pangkas yang orang Nias itu menawarkan untuk semir. Alasannya biar tampak lebih mudah. Saya selalu menolak, karena paling malas harus berlama-lama di tempat cukur rambut. Kasian yang ngantri.
Soal semir menyemir rambut, mungkin inilah penyebab rambut saya cepat memutih. Rusak karena zat kimia. Dulu pernah gaya-gayaan, semir rambut jadi rada ungu. Terus ganti dengan warna mahoni. Cat rambutnya juga murahan, terus ngecat sendiri. Eh dibantuin sepupu. Bukan di salon yang kudu threatment khusus.
Nyesel? Nggak jugalah karena sudah terjadi. Buat apa disesali, yang penting pernah gaya. Orang nggak dinilai dari warna rambutnya. Orang juga nggak dinilai dari ganteng atau jelek. Bukan juga apa agamanya. Mau mata kamu suka melotot atau memang dari sononya sipit apa pentingnya itu.
Orang dinilai dari apa yang bisa diberikan baik bagi keluarga maupun sesamanya. Bagi mereka yang seiman atau bukan. Siapa yang menilai? Orang lain tentu boleh menilai, Â tetapi yang terpenting Tuhan yang pemilik hidup yang punya penilaian yang paling valid atas diri kita.
Karena kamu, bukan apa yang ada pada kamu. Tetapi apa yang bisa kamu bagikan. Itu saja yang terpenting dalam hidup ini. Setuju?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H