Mohon tunggu...
Venusgazer EP
Venusgazer EP Mohon Tunggu... Freelancer - Just an ordinary freelancer

#You'llNeverWalkAlone |Twitter @venusgazer |email venusgazer@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Rezeki dari Tradisi Melepas Burung

18 Agustus 2016   02:57 Diperbarui: 18 Agustus 2016   10:26 733
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dimasukan ke kotak agar lebih mudah saat melepaskannya (dok,pri)

Sedari pagi Wanda sudah nongkrong di muka sebuah wihara yang berada di Kecamatan Sunggal Medan. Di sepeda motor milik pemuda keturunan Jawa itu terikat sebuah kandang burung kurang lebih berukuran 50 x 100 cm. Isinya sekawanan burung sriti yang jumlahnya 180 ekor.

(dok.pri)
(dok.pri)
Rabu (17/8), bertepatan dengan Hari Kemerdekaan RI, adalah puncak dari perayaan Tjiet Gwee Pua (dalam hal ini terdapat beberapa istilah). Dalam tradisi Thionghoa, baik itu penganut Buddhisme maupun Taoisme dikenal Bulan Arwah (hantu), jatuh pada setiap bulan ketujuh dalam kalender China.

Menurut kepercayaan, pada bulan ketujuh ini, arwah atau hantu dilepaskan dari neraka untuk turun ke dunia. Makanya orang kita Tionghoa sangat berhati-hati sekali ketika mulai memasuki bulan ini. Anak-anak kecil biasanya diikatkan semacam penolak hantu. Juga ada pantangan-pantangan seperti tidak mengadakan pesta perkawinan.

Burung Sriti atau yang lebih dikenal dengan burung Layang-layang (dok.pri)
Burung Sriti atau yang lebih dikenal dengan burung Layang-layang (dok.pri)
Pada tanggal 15 dari Bulan Arwah ini biasanya dilakukan ritual sembahyang bagi para keluarga dan leluhur yang sudah meninggal. Sembahyang bisa dilakukan di rumah ataupun wihara atau kelenteng sembari menyediakan makanan bagi mereka yang didoakan.

Wihara tempat Wanda mangkal juga merangkap sebagai tempat penyimpanan abu jenazah. Jadi memang terlihat cukup ramai. Orang-orang datang silih berganti memanjatkan doa-doa sambil membakar hio dan kertas-kertas berwarna kuning.

Wanda terlihat sabar menunggu. Lewat pengurus wihara ada yang sudah memesan 67 ekor sriti. Jadi, tinggal menunggu calon pembelinya datang. Sesekali dia juga melayani pembeli lain yang hanya membeli seekor dua ekor saja. Satu ekor sriti dihargai Rp3.000,00 saja.

“Ini burung-burungnya boleh nangkap sendiri?” tanya saya.

“Ya nggak lah, Mas. Ini ngambil dari juragan. Nanti kalau ada yang nggak laku ya dikembalikan.”

“Saya kadang ke sini tapi koq baru lihat ya?” tanya saya sedikit penasaran.

“Mungkin pas nggak jumpa. Karena memang biasanya muter cari yang paling ramai.”

Pemuda yang kesehariannya bekerja sebagai buruh bangunan itu dua kali sebulan berjualan burung sriti atau yang juga disebut burung layang-layang. Ia memanfaatkan momen tertentu dalam tradisi Tionghoa yang jatuh pada awal dan pertengahan bulan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun