Sedari pagi Wanda sudah nongkrong di muka sebuah wihara yang berada di Kecamatan Sunggal Medan. Di sepeda motor milik pemuda keturunan Jawa itu terikat sebuah kandang burung kurang lebih berukuran 50 x 100 cm. Isinya sekawanan burung sriti yang jumlahnya 180 ekor.
Menurut kepercayaan, pada bulan ketujuh ini, arwah atau hantu dilepaskan dari neraka untuk turun ke dunia. Makanya orang kita Tionghoa sangat berhati-hati sekali ketika mulai memasuki bulan ini. Anak-anak kecil biasanya diikatkan semacam penolak hantu. Juga ada pantangan-pantangan seperti tidak mengadakan pesta perkawinan.
Wihara tempat Wanda mangkal juga merangkap sebagai tempat penyimpanan abu jenazah. Jadi memang terlihat cukup ramai. Orang-orang datang silih berganti memanjatkan doa-doa sambil membakar hio dan kertas-kertas berwarna kuning.
Wanda terlihat sabar menunggu. Lewat pengurus wihara ada yang sudah memesan 67 ekor sriti. Jadi, tinggal menunggu calon pembelinya datang. Sesekali dia juga melayani pembeli lain yang hanya membeli seekor dua ekor saja. Satu ekor sriti dihargai Rp3.000,00 saja.
“Ini burung-burungnya boleh nangkap sendiri?” tanya saya.
“Ya nggak lah, Mas. Ini ngambil dari juragan. Nanti kalau ada yang nggak laku ya dikembalikan.”
“Saya kadang ke sini tapi koq baru lihat ya?” tanya saya sedikit penasaran.
“Mungkin pas nggak jumpa. Karena memang biasanya muter cari yang paling ramai.”
Pemuda yang kesehariannya bekerja sebagai buruh bangunan itu dua kali sebulan berjualan burung sriti atau yang juga disebut burung layang-layang. Ia memanfaatkan momen tertentu dalam tradisi Tionghoa yang jatuh pada awal dan pertengahan bulan.