Mohon tunggu...
Venusgazer EP
Venusgazer EP Mohon Tunggu... Freelancer - Just an ordinary freelancer

#You'llNeverWalkAlone |Twitter @venusgazer |email venusgazer@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Pusing! 1,5 Juta Cuma Buat Buku Pelajaran SD

23 Juli 2016   08:42 Diperbarui: 23 Juli 2016   15:47 1181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Kompas.com

Pusing! Para orangtua mulai pusing ketika memasuki tahun ajaran baru. Ya khususnya anak mereka belajar di sekolah swasta. Setelah sebelumnya dihadapkan pada uang masuk yang mahal. Kini ketika anak-anak mulai belajar mereka harus kembali merogoh kocek lagi unutk membeli buku.

Tahun ini total dana buku yang seharusnya saya keluarkan sekitar 1,5 juta untuk 2 orang anak. Bayangkan, untuk buku SD saja sudah habis segitu. Lalu bagaimana dengan mereka yang mempunyai 3-4 anak? Buat orangtua yang berasal dari kalangan atas tentu tidak masalah tapi buat sebagian besar orangtua menengah kebawah rasanya sungguh teramat berat.

Sebagai ilustrasi: total buku yang harus saya beli ada 38 buku. Dengaan rincian kelas 1, 13 buku dan kelas 3 ada 15 buku. buku termurah harganya 27 ribu, dan itu cuman sebuah saja. Buku-buku lainnya berkisar dari 50 ribu sampai 70 ribu. Luar biasa bukan? Perasaan dulu saya sekolah di swasta, ada buku paket dari perpustakaan yang dipakai turun temurun. Sekarang sudah tidak berlaku lagi.

Salahnya sendiri menyekolahkan anak ke sekolah swasta. Betul sih, cuman banyak pertimbangan yang diambil mengapa banyak orangtua termasuk saya harus menyekolahkan ke sekolah swasta terutama pendidikan dasar. Bukan rahasia bahwa mutu pendidikan SD milik pemerintah tidak merata kualitasnya. Di Jawa mungkin banyak sekolah dasar negeri yang baik.

Menyiasati agar tidak habis banyak saya harus berburu buku ‘lungsuran’ kakak kelas. Bukan mudah karena buku mereka juga akan digunakan oleh adik-adik mereka. Beruntung akhirnya dapat juga, kebetulan dia anak tunggal. Jadi bukunya bakal nganggur.

Masalahnya tidak semua buku bekas tersebut bisa dipakai. Ada beberapa buku dari penerbit tertentu yang tidak digunakan lagi. Kemudian ada beberapa buku yang sudah parah alias tidak layak pakai karena sudah koyak sana-sini.

Pada beberapa buku yang isinya penuh coretan terutama pada bagian latihan saya siasati dengan menutupnya dengan stiker putih. Kalau yang sudah dikerjakan dengan pensil tinggal dihapus saja. Agak mengganggu juga sih, tapi yang penting isinya bisa dipakai untuk belajar.

Anak saya yang kelas 1 terpaksa harus membeli baru semua. Padahal buku peninggalan kakaknya masih ada dan masih bagus. Ini akibat kurikulum yang gonta-ganti. Jadi buku cetak harus ganti pula.

Buku yang dijual di sekolah mendapat diskon 10 persen dari hari penerbit. Saya pun cari informasi di mana bisa dapat kortingan lebih besar. Beruntung penerbitnya ada di Medan jadi kemarin langsung ke sana. Minta potongan 20 persen tidak dikasih, cuman dapat 15 persen, lumayan.

Bukan saya seorang yang merasakan pusing. Seorang ibu malah lebih pusing lagi. Bayangkan (lagi), ia sudah habis dana 1,5 setengah juta cuman buat beli buku anaknya yang baru masuk SMA. Maka rencananya mau mencari buku pelajaran SD di pusat penjualan buku bekas. Jika beruntung bisa dapat buku baru tapi lama dengan harga yang jauh lebih murah.

Jika kumpul dengan orangtua yang lain ceritanya pun kurang lebih sama. Adanya cuma pusing dan pusing. Dalam hati saya berkata, "Untung anak cuman 2". Ya begitulah, dari tahun ke tahun harga buku tidak ada yang turun.

Kapan ada subsidi dari pemerintah untuk kami yang menyekolahkan anaknya di sekolah swasta. Padahal kami juga bayar pajak seperti yang lain. Memang ada dana BOS, yang jumlahnya sekian itu. Padahal kontribusi anak-anak yang bersekolah di swasta bagi bangsa ini sama dengan yang di negeri.

Bagikanlah juga kue anggaran APBN di bidang pendidikan itu buat anak-anak yang bersekolah di swasta. Terutama sekolah-sekolah swasta yang mayoritas orangtua siswanya berasal dari keluarga menengah kebawah ini.

Kami di rumah ikut mendidik dan membesarkan anak-anak dengan sebaik mungkin. Baik budi pekerti maupun intelektual mereka bersama sekolah mereka. Bukan hanya demi masa depan anak-anak semata, tetapi demi melahirkan generasi bangsa yang berkualitas.

Semoga Pak Anies memahami masalah kami para orangtua ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun