To the point saja, saya agak terkejut dengan kerjasama Kompasiana dengan Uber Taksi seperti yang termuat dalam artikel "Promo Seratus Ribu, Naik Uber Taksi Menuju Kompasianival 2015". Bagaimana bisa media sekelas Kompasiana menjalin kerjasama dengan pihak yang sedang bisa dikatakan bermasalah.
Uber Taksi sendiri kehadirannya di Jakarta menimbulkan kontroversi. Layanan transportasi ini tidak diperkenankan masuk bandara. Sedangkan untuk urusan pajak, petinggi Uber Taksi Indonesia saja mengakui bahwa mereka belum bisa membayar pajak. Alasannya mereka belum mendapatkan profit atas usaha mereka itu.
Saya tidak mengerti alasan yang masuk akal Kompasiana menggandeng Uber Taksi dalam memeriahkan Kompasianival 2015 selain alasan mempermudah akses bagi Kompasianer untuk datang maupun pulang.
Ini mengingatkan saya ketika Kompasiana mengadakan blog competition yang disponsori oleh produk rokok atau minuman bersoda. Walaupun saya seorang perokok, agak risih juga untuk berpartisipasi.
Kompasiana bagi saya sudah seperti rumah sendiri. Ada rasa memiliki yang besar (walau jarang menulis) terhadap blog keroyokan ini. Kompasiana jelas berbeda dengan yang lain semisal FB atau Twitter. Ada sesuatu yang spesial di sini yang susah dijelaskan dengan kata-kata.
Ketika kasus PK aka Gayus mencuat, sebagian orang mungkin bangga sebab karena Kompasiana kenakalan Gayus ketahuan. Padahal di sini lain, kita harus mengelus dada karena ia menjadikan Kompasiana sarana lain untuk kebebasannya.
Ketika orang tertawa mendengar anggota MKD menyebut Kompasiana sebagai KOMPASMANIA, kita seharusnya prihatin. Anggota DPR kita tidak kenal Kompasiana. Rangking Alexa Kompasiana boleh jadi ada perbaikan, tetapi itu bukan indikator mutlak bahwa Kompasiana kita begitu hebatnya.
Terus terang saya ingin Kompasiana menjaga integritasnya. Bukan sekedar sharing and connecting saja. Kompasiana harus ikut membangun dan mencerdaskan bangsa ini. Itulah saya terus terang 'marah' pada seorang penulis yang beberapa waktu lalu artikelnya tidak menggambarkan sesuatu yang bijak. artikel-artikelnya hanya merusak nama baik Kompasiana. Menjadikan Kompasiana sebagai media abal-abal penyebar hoax dan fitnah semata.
Di twitter beberapa waktu yang lain seorang wanita berkicau, ia kurang lebih mengatakan kompasiana itu tidak berbeda dengan fan page-nya Jonru. Semua orang di dunia maya tentu saja tahu siapa itu Jonru. Membaca kicauannya saya emosi dan tidak terima, dan langsung membalasnya. Seorang lagi yang cukup terkenal di twitter mengatakan bahwa Kompasiana kini kurang bisa dipercaya oleh agen dan client. Anda tebak sendiri apa yang dimaksud dengan kalimat itu.
Maaf, sebagai orang luar yang tidak mengerti pontang-pantingnya admin Kompasiana menggelar ajang tahunan Kompasianival mungkin saya hanya bisa mengkritik. Tapi admin tentu tahu, penulis itu kurang lebih sama halnya dengan pengamat politik. Bisanya cuman komentar, ya saya bisanya cuma menulis.
Btw, saya ingat beberapa tahun lalu saya berhenti untuk menjadi kontributor sebuah website olahraga. Alasannya, ternyata situs tersebut berafiliasi dengan rumah judi. Apa yang saya tulis menjadi rujukan bagi mereka yang mau memasang taruhan. Tidak rela rasanya, entahlah kalau orang lain. Buat penulis atau blogger menjadi kontributor, influencer atau buzzer untuk produk-produk 'ilegal' mungkin tidak masalah karena yang penting dompet penuh.