Mohon tunggu...
Venty Nilasari
Venty Nilasari Mohon Tunggu... Guru - Guru

Belajar sepanjang hayat

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Silaturahim Itu Bukan Cinta Bertepuk Sebelah Tangan

19 April 2024   09:35 Diperbarui: 21 April 2024   14:33 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image Courtesy: Foto Pribadi 

Lebaran kali ini sama seperti lebaran tahun-tahun kemarin. Tidak riuh ramai dengan safari dari rumah ke rumah seperti keluarga lain. Sanak saudara dari suami saya sudah kepaten obor. Menurut cerita, Eyang Putri dulu memang sengaja tak mengenalkan dengan saudara dari Yogya yang katanya masih ada hubungan dengan keluarga keraton. Praktis yang rajin kami kunjungi adalah saudara dari Mama saya yang masih orang sekitar rumah saja, tak sampai ke luar daerah.

Keluarga dari Bapak juga sebenarnya rutin kami kunjungi. Walaupun "mampir" ke rumah Bapak adalah alasan yang membuat perjalanan tersebut kurang menyenangkan, toh tetap saja kewajiban formalitas tersebut kami jalani.

Karena hanya sedikit anjangsana yang kami lakukan, maka kami bergerilya sonjo (istilah bertamu di hari raya di tempat saya) pada teman maupun rekan perantauan yang tidak mudik. Mulai dari teman SMP yang baru kontak lagi, tetangga kos waktu kuliah, kakak kelas yang mulai dekat karena berangkat kerja bareng, dan kategori lain yang tak ada kaitannya dengan silsilah keluarga.

Silaturahim yang sempat tidak dianjurkan akibat pandemi selama 2 tahun, sekarang ini riuh kembali. Silaturahim, yang sangat dianjurkan dalam Islam, punya beberapa manfaat diantaranya adalah memperluas rizqi, memperpanjang umur dan tentu saja merekatkan tali persaudaraan. Kerabat jauh tak jarang sampai mbelani bertemu, rela membeli tiket dengan harga selangit, menyeberang pulau dan menempuh jarak beratus kilometer demi bertemu dengan keluarganya.

Unjung-unjung silaturahim setahun sekali ini adalah budaya unik yang hanya terjadi di Indonesia yang patut kita lestarikan. Biasanya setelah mengunjungi rumah seseorang, lain waktu yang dikunjungi akan bergantian berkunjung. Bertamu saling balas ini mungkin terkesan ribet. Karena kedatangan kita tidak mungkin dengan tangan kosong. Persiapan mulai dari buah tangan, uang angpao, baju baru, kue-kue, sampai bersih-bersih rumah harus dianggarkan khusus setiap perayaan lebaran. Perputaran roda ekonomi menjadi sangat cepat karena kebutuhan dan animo masyarakat yang tinggi untuk berbelanja. Saya percaya hal ini tidak saja terjadi di daerah tertentu, tapi hampir di sebagian besar wilayah Indonesia. 

Di tempat saya yang merupakan pesisir utara Jawa Timur mengamini pepatah mata dibalas mata, gigi dibalas gigi untuk budaya silaturahim ini. Jika sudah dikunjungi oleh seseorang, maka hukumnya mendekati wajib untuk balas berkunjung. Namun, tak jarang ada beberapa orang yang dikunjungi merasa enggan untuk berkunjung balik. Mungkin jika hanya sekali tak mengapa, mungkin masih ada alasan untuk alpa. Tetapi jika terjadi dua atau tiga kali, maka silaturahim yang terjalin hanya bertepuk sebelah tangan. Tak dipungkiri, tali silaturahim yang sudah dibangun terancam terputus. Ibarat sebuah hubungan, perasaan kita tak bersambut. 

Jika merujuk kalimat motivasi: jika melakukan perbuatan baik maka jangan mengharapkan imbalan atau perubahan sikap dari orang tersebut. Tapi bukan berarti terus-terusan menjadi tamu tak dianggap. Berikut beberapa alasan yang menjadikan kegiatan silaturahim hanya berjalan searah :

  • Termasuk Orang yg Dituakan (Sesepuh)

Sudah sepatutnya bagi yang muda yang memulai lebih dulu berkunjung kepada seniornya. Ngajeni. Walaupun tak menjamin yang tua selalu benar, yang penting sama-sama kembali fitri. Mulai dari nol, seperti kata petugas SPBU.

  • Merupakan "Orang Penting"

Jika tergolong kaum butiran detergen seperti saya, dipastikan akan jarang menerima tamu di rumah. Selama lebaran saya sekeluarga hanya sibuk ngider dari rumah satu ke rumah lainnya. Saya sengaja memesan kue-kue lebaran untuk kami makan sendiri. Jadi bisa lebih menghemat anggaran konsumsi. Akan berbeda jika keluarga saya adalah kepala atau tokoh masyarakat yang rumahnya nyaris tak pernah sepi.

  • Orang dengan Kondisi Kesehatan

Kesehatan adalah nikmat terbesar yang sangat patut kita syukuri. Menjenguk sanak saudara yang sedang diuji sakit dan mendoakannya sudah sewajarnya kita lakukan, lebih-lebih saat lebaran.

  • Berdomisili di Negeri Antah Berantah

Tidak semua orang merasakan nikmatnya pulang kampung untuk lebaran berkumpul dengan keluarga, terutama bagi perantau. Rasanya memang kurang lengkap jika lebaran tanpa mudik. Jika memang berhalangan, opsi merayakan lebaran di tanah rantau menjadi pilihan yang tak bisa ditolak. Karena rindunya berat di ongkos dan jarak, hehehe.

Faktor-faktor tersebut di atas seharusnya tidak menjadi alasan untuk tidak memutus tali silaturahim. Dengan eratnya silaturahim akan memperkuat ukhuwah. Saling memaafkan karena salah dan dosa tidak hanya yang terlihat besar dan berat saja. Kita juga wajib mengenalkan anak-anak dengan sesama saudaranya sehingga mereka akan melanjutkan estafet silaturahim ini kelak. Nah, Kompasioner, bagaimana budaya silaturahim di keluarga Anda?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun