Responmu terbatas. Entah kau mengenali wajahku atau tidak. Bapak yang biasanya mengomel tentang segala sesuatu kini menjadi sangat tenang, hanya terbaring di ranjang. Terasa aneh dan janggal. Membuka mata tapi pandangannya kosong. Menganggukkan kepala pertanda dia mau jika ditawari sesuatu. Atau menggerakkan tangan dan kaki pertanda tak nyaman. Nafasnya satu-satu, terengah-engah. Tak tega rasanya melihatnya.
Keesokan paginya, berita kepergianmu kuterima lewat telpon. Tak percaya rasanya. Sampai juga waktumu. Setelah bersiap, kami segera berangkat untuk mengebumikanmu.
Mama, mantan istrimu itu bergeming. Adikku membuka kain kafan yang menutupi wajahmu dan mengusapnya untuk terakhir kalinya. Anak keduamu itu menangis tersedu sembari memelukmu. Maaf, aku tak melakukan hal yang sama. Aku hanya menatapmu nanar sebelum membaca Yasin. Kemudian ambulance itu membawamu pergi. Ke tempat peristirahatan terakhirmu, di samping Mbah Kung dan juga saudara lain. Ku taburkan bunga di pusaramu dan menaruh kelopak paling besar di atas nisanmu.Â
Kita memang berbagi hubungan darah, bukan ikatan batin. Yang kau wariskan padaku adalah sifat keras kepala yang sudah jadi trademark keluarga besar kita.
Terimakasih sudah menjadi perantara kehadiranku di dunia. Bagaimanapun kita terikat oleh takdir, walaupun kau tak suka. Maaf jika aku tak sesuai harapanmu sejak awal. Maaf kalau aku tak bisa berpura-pura hubungan kita baik-baik saja. Maaf aku tak mampu mewujudkan bakti dalam sikapku.
Untuk semua lara dan luka diantara kita, biarlah itu semua menjadi alpa. Aku percaya kau juga korban dari salah asuhan, tanpa mengerti dan harus menelan semuanya sendiri. Aku mengikhlaskan mu pergi ke tempat yang damai, disisiNya. Tak kau rasa lagi sakit karena tersiksa penyakit.
Namamu sudah kusebut di sela-sela sujudku. Memohonkan ampunan, agar diberi kelapangan jalan juga sebaik-baik tempat. Aku percaya Gusti Allah Maha Kasih dan Sayang, tak terkecuali padamu. Aku yakin ada banyak amal baik yang kau lakukan dibalik sikapmu yang keras dan kaku.
Sugeng tindak, Bapak. Restui aku untuk menjalani hidup dengan baik. Insyaallah akan ku jaga Mama, orang tuaku satu-satunya kini; sesuai pesan suamiku. Ijinkan aku mendidik putra-putraku dengan benar. Aku tak ingin mereka menjadi salinan ku. Cukup berhenti di aku. Aku sudah berhenti berlari dari lukaku, Pak. Aku sudah sembuh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H