Sungguh menjijikan nan menyedihkan melihat kawan-kawan di facebook dan twitter kini mempunyai sebuah hobi baru yang kurang sedap dipandang mata: menjelek-jelekkan salah satu pasang capres - cawapres tertentu, entah itu Prabowo - Hatta ataupun Jokowi - JK. Sejak dari sebulan yang lalu hingga sekarang aku menulis cerita ini, banyak (tidak semua) orang-orang yang menjadi kawanku di facebook & twitter, entah itu hanya berkenal di dunia maya atau memang kenal di alam nyata, mendadak menjadi juru kampanye yang berilmu dangkal atau singkatnya, menjadi pelaku kampanye hitam.
Saya jelaskan dulu apa makna makna dari kampanye hitam. Menurut penjelasan Effendi Ghazali, kampanye hitam atau Black Campaign adalah bentuk kampanye yang mempunyai konten mengeksploitasi kekurangan/kelemahan seseorang tanpa ada bukti atau tidak bisa dibuktikan kebenarannya. Dalam tulisan ini saya cenderung ingin memperluas definisi itu menjadi: Kampanye hitam atau Black Campaign adalah bentuk kempanye yang mempunyai konten mengeksploitas kekurangan/kelemahan seseorang yang bersifat non-kontekstual terhadap permasalahan yang sedang disinggung, dan/atau hal-hal yang tidak mempunyai bukti/tak bisa dibuktikan. Dalam tulisan ini akan saya pergunakan definisi kampanye hitam yang kedua.
Kampanye hitam bisa dilakukan dengan sengaja atau tidak sengaja. Dikatakan sengaja bila pelaku yang bersangkutan sadar bahwa apa yang dia sebarkan adalah ketidakbenaran atau tidak punya landasan apapun, hanya sekedar isu atau fitnah. Dan bisa dikatakan tidak sengaja bila pelaku tidak tahu bahwa apa yang dia lakukan adalah kampanye hitam karena dia menganggap bahwa itu adalah fakta. Dalam tulisan ini saya ingin sedikit menyentil mengenai pelaku kampanye hitam secara tidak sengaja karena merekalah yang paling banyak ada di timeline facebook milikku.
Unik sebenarnya karena justru banyak dari pelaku kampanye hitam tidak sengaja ini adalah mahasiswa. Terus terang saja, berdasarkan pengamatan selama 1 bulan terakhir ini, pelaku kampanye hitam yang paling aktif di timeline facebook adalah mereka yang berstatus mahasiswa (atau setidaknya fresh graduate). Ini sebenarnyapun bisa dimaklumi mengingat karakter seorang mahasiswa yang cenderung berapi-api. Namun itupun sebenarnya tidak bisa menjadi pembenaran mengingat status mahasiswa itu sendiri serta potensi dari kampanye hitam yang bisa memecah persatuan bangsa.
Mahasiswa, seyogyanya, adalah mereka yang mampu berpikir ilmiah. Apapun yang menjadi dasar perilaku seorang mahasiswa, terutama dalam hal yang sensitif semacam pemilu pilpres seperti sekarang ini, harus dilandaskan pada cara berpikir yang ilmiah. Namun anehnya, justru kelakuan yang sama-sekali tidak mencerminkan ke-ilmiah-an, yakni kampanye hitam yang begitu erat dengan fitnah, isu dan argumen kusir (sebuah istilah buatan saya untuk merujuk pada argumen yang tidak kontekstual dan non-substansif), dilakukan sebagian besar di facebook dan twitter oleh mahasiswa!
Apa yang salah? Pertama yang saya kritisi adalah masalah pada minat baca. Iwan Piliang pernah dengan gamblang mengatakan bahwa minta baca mahasiswa Indonesia sangat menyedihkan. Saya akan ambil contoh penelitian seorang mahasiswa di UNY (Universitas Negeri Yogyakarta) bernama Deni Hardianto yang menyebutkan 79,20% mahasiswa FIP UNY hanya membaca saat diberikan tugas oleh dosen atau menjelang ujian.
Untuk akses buku dan mengikuti perkembangan buku-buku terbaru mahasiswa FIP termasuk juga dalam kategori rendah, hanya 4.87% mahasiswa FIP yang selalu mengakses buku atau mengikuti perkembangan buku hanya selebihnya mahasiswa hanya menyempatkan jika ada waktu atau jika ada pameran-pameran buku, bahkan ada 23.17% mahasiswa yang tidak pernah mengikuti perkembangan buku-buku terbaru.
Seakan mengamini penelitian tersebut, Direktur Eksekutif Kompas Gramedia, Suwandi S Subrata mengatakan bahwa 1 buku di Indonesia dibaca oleh 80.000 orang. Bandingkan dengan Malaysia yang 1 bukunya dibaca oleh 19.000 orang saja. Data dari BPS pun juga mengindikasikan hal yang sama. Hal ini terlihat dari data yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2006 yang menunjukkan bahwa masyarakat kita belum menjadikan kegiatan membaca sebagai sumber utama mendapatkan informasi. Orang lebih banyak tertarik dan memilih untuk menonton TV (85,9%) dan atau mendengarkan radio (40,3%) ketimbang membaca koran (23,5%) (www.bps.go.id, diakses tanggal 24 Desember 2007).
Rendahnya minta baca ini tentu membuat pepatah katak dalam tempurung menjadi sebuah kenyataan bagi mahasiswa: Merasa tahu dunia padahal hanya melihat tempurung, merasa paham semua hal padahal tidak tahu apa-apa. Hal ini diperparah dengan kecenderungan untuk mempercayai sumber sumber yang tidak jelas seperti kaskus, facebook, twitter dan semacamnya. Bukannya membaca buku, namun mahasiswa justru lebih suka membaca dari sumber yang tidak bisa terpercaya seperti sebuah posting di kaskus, facebook atau bahkan sekedar cuitan tidak jelas dari akun random semacam triomacan2000 di twitter.
Saya sejujurnya tidak tahu sejak kapan dosen-dosen di berbagai kampus me-legalkan mahasiswanya untuk mencari referensi dari sumber sumber semacam itu, karena di kampus saya dan pada zaman saya, dosen hanya memperbolehkan mencari sumber yang berbentuk buku atau jurnal, bahkan wikipedia pun dilarang keras.