Dari tanggal 26 Oktober sampai tanggal satu November kondisi pengungsi di Merapi secara umum cukup mengenaskan. Khusus untuk kondisi pengungsian di SD Tawangrejo, menurut salah satu kawan yang menjadi relawan, kondisinya cukup menyedihkan. Pengungsi hampir tidak punya kesempatan untuk merebahkan tubuhnya karena selain penuhnya lokasi pengungsian juga karena tidak adanya alas yang berbentuk kasur/alas tidur lainnya.
Mendadak kondisi menjadi jauh berbeda pada hari sebelum SBY datang. Secara tiba-tiba, ada beberapa truk yang membawa bantuan kasur busa untuk dibagikan kepada pengungsi. Dengan seketika pengungsi-pun menyambut bantuan kasur ini dengan suka cita karena memang mereka sangat membutuhkan.
Tapi alangkah mengejutkannya saat panitia pembagi kasur tersebut mengatakan bahwa kasur tersebut dipinjamkan sementara hanya pada saat kunjungan SBY, setelah SBY pulang maka kasur-kasur itupun harus dikembalikan!.
Tidak hanya kasur, kondisi jalannya pun mengalami perbaikan. Jalan yang tadinya becek, berlumpur dan tidak jauh berbeda dengan empang tiba-tiba diperbaiki sehari sebelum kedatangan SBY.
Ironis saat melihat bagaimana perilaku para pejabat daerah yang suka “menjilat” atasannya, yaitu presiden. Di depan presiden mereka memberi kesan seolah-olah para pengungsi telah mendapatkan fasilitas yang layak. Di depan presiden mereka memberikan laporan “palsu” seakan-akan para pengungsi Merapi hidup sementara di pengungsian dengan kondisi yang cukup akomodatif.
Kebiasaan menjilat atasan ini adalah warisan budaya politik Indonesia warisan zaman penjajah dulu. Dulu para punggawa-punggawa pribumi kita biasa memberikan laporan yang baik kepada Kompeni agar mendapatkan bayaran yang tinggi. Anehnya, 75 tahun setelah kita merdeka dari penjajahan negeri asing, namun kita juga belum bisa merdeka dari kebiasaan menjilat ini.
Sudah waktunya SBY untuk berani melakukan revolusi protokol. Protokol kepresidenan kita yang sangat kaku telah membuat sang presiden sendiri secara tidak langsung ter-alienasi dari kenyataan lapangan negaranya. Protokol yang kaku telah membuat gap yang dalam antara presiden dengan rakyatnya. Laporan-laporan “palsu” dari para bawahan presiden yang juga termasuk kedalam variabel protokuler formal kenegaraan atau bisa juga disebut dengan Birokrasi, sudah waktunya dibenahi.
Seorang Presiden kadangkala harus bersikap “membangkang” terhadap regulasi yang dianggap menghalangi kesejahteraan negara ini. Presiden adalah kepala rumah tangga, kepala keluarga yang mempunyai otoritas yang luar biasa besar atas apa yang terjadi di negeri ini. Apalagi dalam kasus ini yang seharusnya pak SBY juga sadar sepenuhnya bahwa sudah kebiasaan bawahannya untuk memberikan laporan “asal bapak senang”.
Berikut adalah beberapa gambar dari wartawan detik yang mengabadikan momen-momen pengambilan kasur pinjaman itu:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H