Perang salib selama beratus-ratus tahun tidak akan pernah terjadi bila kedua umat agama, yang mana salah satunya berteriak "Deus vult!" dan pihak satunya lagi berseru "Allahuakbar!", sama sama tidak terjangkiti virus fanatisme kegilaan agama hanya untuk merebut sebuah kota bernama Jerusalem. Pembantaian umat Protestan oleh Gereja Katolik di Eropa pada abad kegelapan pun merupakan saksi dari betapa euforia beragama berpotensi membawa tragedi kemanusiaan bahkan di benua yang paling dianggap maju sekalipun.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah: apakah euforia beragama hanya muncul di Indonesia? Sayangnya tidak. Kita ambil contoh saja di Amerika Serikat & Eropa terkait dengan polemik arus imigran Muslim. Ketakutan atas proses Islamisasi di AS & Eropa turut menghantui beberapa kelompok masyarakat di sana. Kelompok-kelompok Republikan di AS dan ultra-nasionalis di Eropa berargumen bahwa dengan mengalirnya imigran dari Timteng yang notabene mayoritas muslim bisa menimbulkan clash of culture di negara negara penerima imigran. Selain itu juga ada ketakutan bahwa basically para imigran ingin menciptakan pemerintahan berbasis hukum Sharia di negara negara Eropa dan AS.
Jika di Indonesia theophobia-nya adalah takut kepada Kristenisasi, maka sebaliknya, di Eropa dan AS yang terjadi adalah theophobia terhadap islamisasi. Tentu kita tahu betapa popularitas kanselir Jerman Angela Merkel yang merosot setahun belakangan karena menerima secara besar-besaran arus pengungsi dari Suriah. Begitu pun dengan ribut-ribut menjelang pemilu di negeri Paman Sam di mana salah satu kandidat Capresnya, Donald Trump, sempat menciptakan polemik panas dengan mengatakan bahwa jika dia terpilih maka AS akan melarang imigran yang beragama Islam dan uniknya, rencana ini tetap didukung baik oleh partai ataupun pendukungnya.Â
Di Australia pun sama saja; Pauline Hanson, seorang senat negara bagian Queensland yang terpilih secara demokratis, mengajukan rancangan regulasi untuk melarang imigran Islam masuk ke negeri Kangguru tersebut. Bedanya hanya jika kebanyakan bangsa barat mampu 'menyeimbangkan' antara urusan agama dengan urusan duniawi, maka Indonesia terlalu sibuk hanya dengan urusan agama. Sains telah membawa negara-negara barat ke bulan serta Mars dan berhasil menciptakan nyaris semua produk pionir teknologi elektronik yang kita pakai hari ini, sedangkan heboh soal agama ini telah membawa negeri ini berkutat di situ-situ saja soal syarat mutlak pemimpin harus seagama.
Namun untungnya Indonesia bukan Timur Tengah, bukan pula Eropa pada zaman dark ages, Indonesia adalah Indonesia. Walaupun sejak era reformasi banyak lahir kelompok non-pluralis namun banyak pula gerakan yang berkonsenstrasi pada isu-isu kontemporer dan pluralis yang muncul. Tercipta kesetimbangan antara gerakan konservatif dengan gerakan moderat: dalam sudut pandang pro-pluralis, resistensi masyarakat Indonesia terhadap faham faham anti-pluris cukup masih bisa dianggap baik jika dibandingkan dengan negara-negara serumpun seperti Malaysia & Singapura.Â
Hal ini juga di dukung dengan fakta bahwa pada dasarnya Indonesia sejak ribuan tahun silam telah berada dalam situasi yang penuh keanekaragaman: Suku, bahasa, adat istiadat, kebiasaan, sistem kepercayaan yang beraneka ragam dalam scope de facto negara Indonesia seperti yang kita kenal sekarang ini telah membentuk karakteristik unik yang mungkin hanya terdapat di Indonesia. Kita cenderung masih terbuka atau memaklumi atas perbedaan dalam masyarakat, termasuk dengan kelompok minoritas sekalipun. Dalam agama-agama tradisional (non-samawi), perbedaan dewa-dewi berserta roh nenek moyang adalah hal yang wajar.
Dalam bukunya "Sejarah Para Tuhan", Karen Armstrong menerangkan dengan sangat jelas bahwa agama-agama kuno/tradisional, dimana penganutnya masih menyembah banyak dewa-dewi beserta roh nenek moyang, adalah sistem kepercayaan yang paling toleran, paling tenggang rasa. Penganut sistem kepercayaan tradisional meyakini bahwa dewa-dewinya bersifat lokal yang artinya mereka mempersepsikan bahwa mungkin saja mereka yang tidak satu suku/pemukiman dengan mereka (si penganut) memang memiliki dewa-dewi nyata yang berbeda dengan apa yang mereka sembah.Â
Berkebalikan dengan agama samawi (Yahudi, Kristen & Islam) yang disebut oleh Karen Armstrong sebagai agama-agama egois: Agama Samawi wajib meyakini bahwa ajarannyalah yang paling benar di dunia, tidak boleh ada ajaran kepercayaan lain yang dianggap benar. Mereka yang mempercayai sistem kepercayaan lain adalah salah, dan mereka yang beralih mempercayai sistem kepercayaan lain adalah heresy dan layak dihukum. Tidak ada kebenaran selain kebenaran absolut agama ini, Tuhan lain selalu salah dan hanya Tuhan khayalan.
Dibandingkan dengan sistem kepercayaan tradisional yang sudah beribu-ribu tahun di Nusantara, agama-agama samawi baru tiba di Indonesia pada abad ke-16. Percampuran antara agama samawi dengan non-samawi tanpa konflik yang berarti ini yang membuat Indonesia berbeda dengan negara-negara Arab atau Eropa. Di Arab dan Eropa, penyebaran agama samawi dilakukan dengan cara koersif atau pemaksaan (perang, invasi, agresi). Sedangkan di Indonesia penyebaran agama samawi dilakukan dengan cara perdagangan, pendidikan, pentas seni, dan perkawinan.Â
Menyamakan metode sejarah penyebaran agama samawi di Indonesia dengan di Eropa dan Arab tentu saja kelewat ngawur, dan maka dari itu tidak bisa serta merta kita menarik premis bahwa output dari agama-agama samawi sekarang, termasuk Islam, akan sama persis seperti di Arab atau di Eropa (negara dengan banyak penduduk Islam di Eropa adalah Bosnia).