Mohon tunggu...
Ajie Marzuki Adnan
Ajie Marzuki Adnan Mohon Tunggu... profesional -

Manusia biasa, suka tidur, suka browsing internet, suka baca komik Doraemon juga. Getting older but still a youth!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Pajak Warteg dan Karakteristik Penjajah

2 Desember 2010   01:45 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:07 665
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemerintah daerah Provinsi DKI Jakarta beberapa hari lalu mewacanakan untuk menarik pajak 10% dari total pendapatan Warteg selama sebulan. Alasannya klasik, yaitu untuk menggenjot pendapatan asli daerah (PAD) DKI Jakarta. Warteg yang selama ini kita kenal sebagai "restoran rakyat" yang terkenal dengan harga murahnya, sekarang terancam posisinya karena isu pemberian pajak ini.

Melihat wacana seperti ini saya jadi teringat dengan berbagai macam pajak yang ditetapkan oleh pemerintah Belanda dulu. Mulai dari pajak panen, pajak penjualan hasil panen, pajak penghasilan (untuk ambtenaar/pegawai negeri) dan berbagai macam pajak lainnya. Semua pajak-pajak ini diberlakukan pemerintah kolonialis dengan alasan sama seperti yang sekarang diwacanakan oleh pemerintah DKI, yaitu untuk meningkatkan pendapatan negara.

Padahal seperti yang kita semua tahu, warteg bisa dibilang adalah satu-satunya alternatif murah bagi orang-orang yang kurang mampu untuk memperoleh makanan. Kesan warteg yang tercipta selama hampir 3 dekade ini begitu identik dengan masyarakat ekonomi rendah. Warteg bukanlah tempat makan (restaurant) bonafit semacam Ayam Bakar Suharti, Mbok Berek, Solaria, KFC dan semacamnya yang mematok harga yang relatif terlalu mahal bagi orang-orang yang punya pendapatan di bawah rata-rata. Bagi orang-orang tersebut, Warteg adalah sang messiah, sang “juru selamat” bagi kebutuhan perut mereka.

Coba saja anda perhatikan sendiri para pengunjung warteg di Jakarta: adakah pengunjung warteg yang menggunakan mobil diatas harga 90 juta? Adakah pengunjung warteg yang rapi menggunakan pantofel dan jas? Adakah pesta ulang tahun atau acara reunian yang diadakan di warteg? Saya yakin anda tidak akan menemukan semua hal itu di dalam warteg Jakarta. Hal ini menunjukkan bahwa Warteg bukanlah tempat makan yang prestisius. Warteg hanyalah “tempat makan seadanya” yang kebanyakan diisi oleh orang-orang memang ingin makan seadanya di tempat yang seadanya dengan budget yang seadanya pula.

Sekarang bagaimana jika warteg di beri pengenaan pajak sebesar 10%? Coba anda bayangkan makan di warteg, nasi dengan lauk tempe+orek+air putih seharga 6000 rupiah, bila dihitung dengan pajak 10% maka akan ada tambahan harga sebesar 600 rupiah. Bagi anda yang bekerja sebagai pejabat atau anda yang berpendapatan 1,5 juta keatas mungkin tidak masalah. Tapi ingatlah bahwa para penikmat warteg adalah orang-orang yang rata-rata punya penghasilan rendah atau bahkan sangat rendah seperi mahasiswa, salesman, kuli bangunan, tukang sampah dan sebagainya. Lima ratus rupiah sehari dua-tiga kali bagi mereka adalah angka yang cukup besar.

Rupa-rupanya karakteristik pemerintahan kolonialisme Belanda ini menurun kepada para pembuat kebijakan negeri ini. Alih-alih menaikkan pajak bagi kaum yang mampu (borjuis, pejabat, pengusaha besar), justru lagi-lagi orang kecil yang menjadi korban keganasan “pemerasan” dengan mengatasnamakan pajak. Bahkan Jepang yang dipopulerkan sebagai negeri penjajah terkejam di Indonesia, tidak sampai hati menetapkan pajak-pajak untuk orang kecil (pajak pertanian, pajak penjualan hasil tani dll) seperti yang dilakukan Belanda. Lantas mengapa pemerintah kita sendiri, saudara kita sendiri sesama bangsa Indonesia tega untuk “kembali” memeras rakyat cilik?

Alangkah baiknya jika pemerintah DKI mempertimbangkan pajak dari sektor lain, seperti pajak penjualan dan pajak tahunan kendaraan bermotor yang jumlahnya sangat banyak di Jakarta. Atau ambillah pajak dari perusahaan-perusahaan multinasional bonafit yang sangat banyak bercokol di Jakarta. Mungkin jika pemerintah DKI berani melakukan langkah ekstrim, kenakan saja pajak untuk pejabat-pejabat di provinsi ini, toh mereka sudah kaya dan tidak akan terpengaruh signifikan bila mereka dikenai pajak.

Tidak perlu rasanya pemerintah DKI berdalih mencontoh negara lain seperti Inggris dan Amerika Serikat karena memang perbandingannya sangat tidak realistis. Pendapat perkapita di kedua negara tersebut mencapai lebih dari 30.000 USD. Selain itu juga dikedua negara tersebut terdapat banyak badan khusus (suatu organisasi nirlaba) yang memang menyediakan pangan bagi orang-orang tidak mampu. Bandingkan dengan pendapatan perkapita Indonesia yang hanya 4000 USD. Selain itu juga mana ada organisasi, baik itu dari pemerintah ataupun organisasi lain, yang menyediakan panganan untuk orang tidak mampu?

Sekali lagi yang menjadi pertanyaan besar adalah mengapa yang selalu menjadi korban “pajak” ini adalah rakyat kecil? Mengapa bukan pengusaha-pengusaha kaya atau pejabat kita yang kaya raya itu yang dikenakan pajak ekstra? Apa kita mau mencontoh pemerintahan Belanda abad 19 yang membebaskan gubernur, dan orang-orang Belanda yang kaya dari pajak namun justru mengenakan berbagai macam pajak untuk orang pribumi yang berkemampuan ekonomi rendah? Ah, betapa lucunya negeri ini....

http://dagelanwayang.com/2010/pajak-warteg-dan-karakteristik-penjajah/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun