Mentawai, salah satu daerah di Provinsi Sumatera Barat yang terkena dampak tsunami cukup parah, justru ditinggal pemimpinnya, Bpk. Irwan Prayitno untuk promosi investasi, wisata dan perdagangan ke kota Muenchen, Jerman.
Seandainya kunjungan ini dilakukan saat kondisi Sumbar sedang tidak terjadi apa-apa mungkin tidak akan menjadi masalah. Yang menjadi ironi adalah saat kepergian Bpk. Irwan Prayitno ini justru hampir bersamaan dengan tragedy tsunami yang menewaskan lebih dari 450 orang di kep. Mentawai.
Ada dua kesalahan yang dilakukan oleh gubernur Sumbar Bpk. Irwan Prayitno ini. Kesalahan pertama adalah meninggalkan wilayah kepemimpinannya yang sedang diterpa bencana tsunami. Kesalahan kedua adalah menghadiri undangan kenegaraan tanpa seizin kepala negara.
Secara Undang-undang atau hukum tertulis memang tidak ada yang salah ketika gubernur Sumbar meninggalkan wilayahnya yang sedang diguncang gempa dan tsunami untuk menuju Jerman. Namun secara moralitas dan budaya politik Indonesia hal ini sangat tidak bisa dimaklumi. Kondisi Mentawai yang hancur lebur membutuhkan dukungan dari berbagai pihak, terutama dari sang pemimpin tertinggi di wilayah itu, yaitu sang gubernur sendiri.
Namun dengan santainya gubernur justru bersikap “cuek” dan seenaknya mengalihkan tanggung jawab koordinasi dan penyaluran bantuan kepada wakilnya. Si gubernur sendiri malah pergi ke Jerman hanya untuk menjadi “salesman”. Enak betul si gubernur ini, keadaan yang sulit justru ditinggalkan, tapi keadaan yang enak dan menyenangkan malah dipaksakan hadir.
Siapa yang bisa menyangkal bahwa kota Muenchen adalah salah satu kota terindah di Jerman?. Muenchen adalah sebuah ibukota provinsi Bavaria di Jerman bagian selatan. Kota ini adalah salah satu tujuan utama turis asing di Jerman dan memang merupakan kota yang mengandalkan pemasukannya dari sektor pariwisata. Bisa dikatakan bahwa kota Muenchen Jerman adalah pulau Balinya Indonesia.
Ya betul, bapak Irwan Prayitno lebih suka naik pesawat kelas ekskutif dan menginap di hotel berbintang, menyantap makanan khas hotel berbintang ala Eropa sambil menikmati berbagai objek wisata di Muenchen yang luar biasa indah daripada harus berpanas-panas di kantornya yang rusak dan pengap karena gempa dan berpusing-pusing memikirkan penyaluran bantuan ke kep. Mentawai.
Dan kabar yang paling mengejutkan adalah kepergian gubernur Sumbar ini juga tanpa seizin presiden SBY (sumber: Depdagri). Pemda Sumbar memang telah mengajukan izin ke presiden melalui depdagri, namun sampai hari keberangkatan gubernur Sumbar ke Jerman SBY belum menurunkan izin keberangkatannya.
Aneh sekaligus juga unik. Seorang gubernur yang datang atas nama negara pergi keluar negeri tanpa izin dari Presiden: entah apa kata dunia kalau sampai media asing mem-blow-up kejadian ini.
Indonesia adalah salah satu dari ratusan negara lain di dunia yang menempatkan Presiden atau kepala negaranya sebagai otoritas yang mempunyai kekuasaan mutlak untuk melakukan kebijakan luar negerinya. Bahkan lembaga yudikatif dan legislatif yang setara dengan eksekutif tidak mempunyai hak untuk melakukan aksi hubungan diplomatik. Amerika, Inggris, Prancis, Jerman dan sebutlah semua negara besar yang kita tahu-pun sama seperti Indonesia, yaitu menempat presiden (atau kepala negara) sebagai pemegang kekuasaan tertinggi untuk melakukan interaksi diplomatik dengan negara lain. Segala tindakan aparatur negara yang berkaitan dengan negara lain harus dengan sepengatahuan dan seizin kepala negara.
Jadi perilaku gubernur Sumbar ini jelas sangat tidak bisa diterima dari sudut pandang etika politik Internasional. Sang presiden sendiri belum memberikan mandat kepada gubernur Sumbar untuk berangkat, tapi sang gubernur sendiri sudah mendahului “kabur” ke Jerman. Etika politik macam apa ini? Apakah Bpk Irwan Prayitno belum pernah belajar bagaimana seharusnya interaksi antar bangsa itu berlangsung?. Tatanan birokrasi yang mengatur hubungan antar-bangsa dengan seenaknya dihantam begitu saja oleh gubernur Sumbar seakan-akan dia yang membuat peraturan sendiri.