Mohon tunggu...
Ajie Marzuki Adnan
Ajie Marzuki Adnan Mohon Tunggu... profesional -

Manusia biasa, suka tidur, suka browsing internet, suka baca komik Doraemon juga. Getting older but still a youth!

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Minat Baca Mahasiswa dan Maraknya Kampanye Hitam

13 Juni 2014   02:28 Diperbarui: 20 Juni 2015   03:59 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ada satu orang di timeline saya yang sangat aktif melakukan black campaign kepada salah satu capres-cawapres tertentu. Dia merupakan seorang mahasiswa dari sebuah kampus yang tidak sembarangan dan sayapun tahu dia bukan mahasiswa bodoh, namun sumber yang selalu dia bagikan adalah sumber-sumber yang setidaknya bisa dikatakan tidak kredibel, tendensius bahkan aroma fitnahnya pun sangat terasa. Saya tidak mengerti apakah di kampusnya, yang notabene adalah salah satu kampus besar di Jakarta, tidak pernah mengajarinya mengenai prinsip-prinsip berpikir ilmiah atau memang selama ini saya salah menyangka dia sebagai mahasiswa cerdas?

Yang menjadi kekhawatiran saya adalah jika para mahasiswa negeri ini, sebuah kelompok intelektual yang dianggap sebagai perintis kemajuan bangsa saja bisa tertipu dengan mudah oleh kabar-kabar burung dan fitnah, lantas bagaimana kabar sebagian besar rakyat Indonesia yang tidak pernah menginjak bangku perkuliahan? Saya lantas menyadari betapa rapuhnya negeri besar ini, betapa ringkihnya republik yang menjuntai dari Sabang hingga Merauke ini terhadap provokasi.

Saran saya kepada para mahasiswa atau mereka yang telah menjadi sarjana, janganlah terjebak pada kabar-kabar yang tidak bisa dipastikan kebenarannya. Anda sekalian boleh benci setengah mati kepada Prabowo atau Jokowi, namun jangan sampai kebencianmu itu menutup mata hatimu atas kemampuan & prestasi mereka. Sebaliknya, anda juga sangat diperbolehkan suka setengah hidup kepada Prabowo atau Jokowi, namun jangan sampai kecintaanmu kepada membuatmu menjadi anti-kritik terhadap kesalahan mereka.

Saran saya yang kedua, bacalah buku! Jika kau bisa membayar ISP atau VPN plus uang pulsa perbulannya, mengapa tidak menyisihkan uang kalian untuk membeli buku biografi Prabowo, Hatta, Jokowi dan Jusuf Kalla? Berhenti membaca thread kaskus, baik itu di lounge atau "news & politic", membaca cuitan akun-akun random tukang fitnah seperti triomacan2000, atau memberikan referensi dari media yang jelas-jelas melanggar kode etik jurnalisme seperti voa-islam dan sebagainya. Jika kau tidak punya uang untuk beli yang baru, maka belilah yang bekas. Ada banyak buku bekas biografi Prabowo-Jokowi di Pasar Buku bekas Senen yang harganya tidak lebih mahal dari biaya yang harus kau keluarkan saat menonton ke bioskop. Jadikanlah buku sebagai referensimu yang utama, baru kau boleh menjadikan yang lain-lain tersebut di atas sebagai sekedar tambahan wawasanmu saja.

Semoga saja tulisan saya yang sederhana ini dapat membukakan mata bagi kawan-kawan sekalian dari kutukan kampanye hitam yang menyandera kedamaian di negeri yang heterogen ini. Sebagai penutup tulisan ini, berikut adalah sebuah anekdot yang saya sadur dari facebook seorang Syafriel Teha Noer (Penulis buku "Rimba Kaban")

"Dengan pengetahuan serba sedikit jangan bicara kelewat banyak," nasihat Anang kepada Dolop. Sebelum ini mulut sang sohib berbusa, sesekali disertai percikan api, saat bicara pelanggaran HAM yg diduga dilakukan Mas Bowo saat masih militer aktif. "Memangnya referensimu memadai? Waspada, iblis pun bisa bersalin rupa sbg jurukampanye dan tim sukses," lanjut Anang. "Tapi kita kan juga bisa menilai seseorang dari keberhasilannya mimpin keluarga? Gimana mau mimpin negeri, sbg pemimpin keluarga aj Mas Bowo gagal kok," Dolop menyanggah. "Apa kau tahu persis situasi penyebab perceraiannya dari Mbak Titiek? Apa dia bercerai karena ketahuan punya WIL? Proporsional, bro!" - Hening beberapa saat. Lalu, seperti habis dapat inspirasi, Dolop menyerang Anang. "Kau memang tak suka aku ndukung Mas Joko. Karena itu terus mbela Mas Bowo. Kau ini pendukung Mas Bowo!" - Anang kini menatap Dolop, tajam sekali. "Sudah kubilang, dengan pengetahuan serba sedikit jangan bicara kelewat banyak! Apa urusanku? Aku ini pembela akal sehat dan penganut aliran prasangka baik! Ketika orang banyak menggunjing kertas kerpek-an di saku jas Mas Joko, aku diam saja kan? Eep Saefulloh bilang, itu kertas berisi teks doa dari ibunda Mas Joko, lalu orang banyak ndak percaya krn ukuran kertas yg kemudian diperlihatkan Mas Joko beda dari yg nyelip di jasnya, aku tetap diam kan? Kenapa aku diam?" - Dolop tidak menjawab. "Hey, Dolop, kuberi kau instruksi untuk njawab pertanyaanku barusan; kenapa aku diam?" - "Karena pengetahuanmu tentang kejadian itu terbatas," kata Dolop pelan. "Bukan hanya itu. Tapi karena aku sedang berjuang utk mampu berprasangka baik!" - "Memangnya apa prasangka baikmu utk kertas ukuran besar di saku jas Mas Joko itu?" - "Inilah prasangka baikku," kata Anang kemudian, "catatan doa utk dirinya sendiri tertulis di kertas kecil, ialah doa dari ibunya - sedang pada yg satu lagi adalah doanya untuk rakyat Indonesia, utk kita - dan karena jumlah kita sudah ratusan juta, problem kita pun ratusan juta, sudah tentu diperlukan kertas yg lebih luas pula. Akal sehat dan prasangka baik hari-hari ini sdh jadi barang langka, Lop. Jangan ikut-ikutan membuatnya tambah langka!" - Mata Dolop kini berair. Bukan karena haru pada kebesaran jiwa Anang, melainkan karena kelamaan membelalak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun