Dalam kehidupan yang penuh dengan risiko dan ketidakpastian, semakin banyak orang yang memilih untuk memiliki asuransi sebagai langkah proaktif dalam melindungi diri dan aset yang dimiliki serta agar risiko yang ada tidak menimbulkan kerugian yang lebih besar. Berbagai faktor seperti meningkatnya biaya perawatan kesehatan, risiko kehilangan atau kerusakan aset, dan kebutuhan untuk memberikan keamanan finansial bagi keluarga, mendorong kesadaran masyarakat akan pentingnya perencanaan keuangan jangka panjang melalui asuransi untuk mengelola risiko tersebut. Berdasarkan data dari Asosiasi Umum Asuransi Indonesia, industri asuransi umum di Indonesia tumbuh pesat pada tahun 2023 dengan premi tercatat mencapai 103,8 triliun rupiah yang meningkat 15,3% dibandingkan tahun sebelumnya. Pertumbuhan tersebut mencerminkan meningkatnya minat dan kesadaran masyarakat terhadap produk asuransi.
Ditengah adanya pertumbuhan pada industri asuransi, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan dalam fatwanya bahwa Islam tidak melarang seseorang memiliki asuransi, asalkan dana dikelola sesuai syariat Islam. Namun, tidak sedikit pula jasa asuransi yang diikuti oleh masyarakat tidak sesuai dengan maqashid Syariah yaitu memberikan kemakmuran dan keadilan ekonomi pada umat manusia serta dalam praktiknya mengandung hal-hal yang tidak sesuai dengan syariat Islam, seperti Gharar, Maysir, dan Riba. Dalam asuransi konvensional, tidak terdapat batas waktu pembayaran premi yang didasarkan atas usia tertanggung, sementara usia seseorang berada ditangan Tuhan, sehingga ketidakjelasan jangka waktu pembayaran dan jumlah pembayaran tersebut mengakibatkan ketidaklengkapan suatu rukun akad yang dikenal sebagai gharar. Unsur gharar tersebut pada gilirannya dapat menimbulkan qimar atau maysir, yaitu ketika terdapat suatu permainan atau pertaruhan yang bergantung pada nasib, di mana pihak yang menerima asuransi membayar premi dalam jumlah kecil dan menantikan manfaat asuransi yang signifikan akibat kerugian atau kerusakan aset yang mungkin terjadi di masa depan. Tidak hanya itu, semua dana yang diinvestasikan menggunakan bunga, begitu pula dengan perhitungan keuntungan untuk peserta. Unsur riba juga ditemukan pada kompensasi yang diberikan pihak perusahaan asuransi dengan jumlah melebihi total premi yang dibayarkan oleh penerima asuransi tanpa adanya imbalan timbal balik. Hal-hal tersebut menyebabkan sebagian masyarakat, terutama muslim merasa tidak nyaman untuk menggunakan produk asuransi konvensional, meskipun mereka menyadari pentingnya perlindungan finansial.
Dengan kondisi tersebut, munculnya asuransi syariah di Indonesia menjadi jawaban atas kebutuhan masyarakat yang mayoritas beragama Islam sekaligus menjadi alternatif solusi dari asuransi konvensional yang dianggap bertentangan dengan syariat Islam. Asuransi Syariah  mengedepankan konsep saling tolong-menolong dan pembagian risiko di antara peserta melalui dana tabarru' yang sejalan dengan tujuan maqasid syariah. Asuransi syariah juga dirancang untuk sepenuhnya mematuhi prinsip Syariah dengan menghindari unsur riba, gharar, dan maysir, sehingga peserta merasa aman dikarenakan perlindungan finansial mereka tidak melanggar ajaran agama. Pengelolaan dana dalam asuransi syariah dilakukan secara transparan yang memungkinkan peserta untuk melihat penggunaan kontribusi dan hasil investasi. Kemudian hasil investasi dibagikan kepada peserta sesuai kesepakatan dan premi yang dibayarkan tidak akan hangus meskipun tidak ada klaim, karena dana dikumpulkan dalam tabarru'.  Oleh karena itu, dengan kelebihan yang ada tersebut, asuransi syariah dapat menjadi pilihan yang tepat bagi individu yang ingin melindungi diri dan keluarga secara finansial tanpa melanggar prinsip-prinsip agama sekaligus dapat berkontribusi pada kesejahteraan masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H