Mohon tunggu...
Vence Marines
Vence Marines Mohon Tunggu... wiraswasta -

Learning at the university of life Bukan siapa-siapa dan bukan apa-apa hanya pembelajar di dunia dualitas

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Syahrini dan Warga Gunung Kidul

3 Oktober 2011   12:43 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:23 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ironis sekali memang melihat warga Giri Purwo Gunung Kidul yang menghabiskan waktu hingga berjam-jam untuk memperoleh air sementara sebahagian dari kita justru kurang menghargai air dengan membuang-buangnya. Sering kali kita tidak bersyukur terhadap nikmat yang kita peroleh dan biasanya kita baru sadar bahwa apa yang kita dapat selama ini adalah nikmat luar biasa yang diberikan Sang Pemilik Kehidupan setelah kita kehilangan ‘sesuatu’ tersebut. Warga Giri Purwo lebih menyadari nikmat air dibanding kita karena kesulitan mereka dalam memperolehnya. Semoga kehidupan menuntun kita menjadi orang-orang yang pandai bersyukur tanpa kita harus mengalami seperti apa yang dialami oleh warga Gunung Kidul.

Untuk memperoleh air warga Giri Purwo Gunung Kidul harus berjalan melewati jalanan berbatu cadas dan menanjak sejauh 3 km. Para ibu rela berjalan sejauh itu untuk mengambil air di gua pego [salah satu sumber air diwilayah itu] sementara para bapak mencari nafkah ke kota. Puluhan tahun warga Gunung Kidul hidup dalam kekurangan air dan puluhan tahun kita hidup dalam kecukupan air. Sehingga amat pantas kita bersyukur seperti apa yang sering diceletukkan oleh Syahrini, Alhamdulillah Yah [diucapkan dengan lemah gemulai] kita bisa merasakan nikmatnya berkecukupan air.

Bantuan pemerintah akan air bersih yang dibutuhkan masih amat minim. Seorang ibu yang diwawancarai Trans 7 mengimbau kepada pemerintah dan para pejabat yang menghambur-hamburkan uang untuk mau memperhatikan dan peduli terhadap nasib mereka. Karena lahan yang kering membuat para warga tidak bisa bertanam padi sehingga mereka bertanam palawija. Dan makanan pokok mereka adalah tiwul yang diolah dari gaplek. Lagi-lagi kita harus bersyukur bisa menikmati nasi. Alhamdulillah Yah...sesuatu banget !!

Terima kasih

Salam mantap

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun