Mohon tunggu...
Konstantinus Jalang
Konstantinus Jalang Mohon Tunggu... Penulis - Penulis adalah Alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana Malang

Berfilsafat dari Bawah

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Memaafkan Kekeliruan

20 Februari 2021   16:57 Diperbarui: 20 Februari 2021   17:01 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kita semua pernah bercerita tentang pengalaman masa lalu. Dengan kapasitas mengingat, kita bisa merefleksikan dan bahkan mengevaluasi diri dari pengalaman tersebut. Masa lalu adalah fakta eksistensial yang tak terbantahkan. Masa lalu tidak boleh direduksi sejauh kenyataan biologis. Tetapi lebih dari itu, masa lalu adalah pengalaman-kesadaran. Bercerita tentang masa lalu berarti mengisahkan cara pandangku dulu, kemarin atau bahkan tadi.

Pengalaman-kesadaran melulu milik manusia. Dengan rasionalitas, manusia mampu menangkap makna di balik setiap pengalaman hidupnya. Rasionalitas meniscayakan refleksi dan evaluasi diri. Atau dengan kata lain, rasionalitas tidak lain adalah instrumen utama aktivitas refleksi dan evaluasi diri. Refleksi dan evaluasi diri pada akhirnya menyadarkan kita akan setiap kesalahan dan kekeliruan cara berpikir masa lalu.

Bahkan, substansi sejarah suatu bangsa pun tidak lain adalah cara berpikir manusianya. Perubahan sosial, politik dan kultural suatu bangsa merupakan produk cara berpikir manusianya. Perbedaan cara berpikir orang Abad Pertengahan  dengan Abad Modern kemudian memproduksi fashion, arsitektur dan tendensi politik yang berbeda pula. Kemajuan peradaban suatu bangsa sangat ditentukan oleh cara berpikir manusia-manusianya. Singkat kata, cara berpikir adalah sumber sejarah itu sendiri, baik sejarah personal maupun komunal.

Kristianitas pun pernah menampilkan suatu kisah hitam tentang kekeliruan cara berpikir. Banyak orang-orang cerdas di Abad Pertengahan yang kepalanya dipenggal, lantaran mendeklarasikan cara berpikir yang bertentangan dengan Gereja. Jauh setelah itu, Gereja baru menyadari bahwa cara berpikir orang-orang tersebut malah yang terbukti benar secara ilmiah. Gereja kemudian mengakui kekeliruannya dan bertobat.

Kekeliruan cara berpikir terkadang baru disadari saat direfleksi. Keliru adalah pengalaman yang sangat manusiawi. Semua orang bisa (pernah) keliru. Tetapi kadang-kadang, demi kepentingan tertentu, beberapa orang sengaja mempropaganda cara berpikir yang keliru. Dalam hal ini pun, kita semua diajak untuk memaafkan. Memaafkan itu identik dengan mencintai. Memaafkan tak harus beralasan. Hal ini sulit memang! Tetapi, kalian pasti pernah melihat atau mendengarkan kisah memaafkan yang tanpa syarat.

Oleh: Venan Jalang

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun