Selera sebagai disposisi subjek rasional dapat dikondisikan dan diwariskan oleh pihak lain. Pihak yang paling signifikan dalam mengkondisikan serta mewariskan selera tidak lain adalah keluarga dan sekolah. Lingkungan keluarga dan sekolah mengkondisikan habitus yang kemudian tampak pada disposisi dan praksis subjek. Disposisi dan selera dalam hal ini merujuk pada hasil internalisasi subjek atas aktivitas sosialisasi keluarga yang berlangsung lama. Ketidaksadaran kultural yang melekat dalam habitus subjek senantiasa diawetkan dari satu generasi ke generasi berikutnya dan terus-menerus diproduksi ulang bagi pembentukkan praksis kehidupan sehari-hari.
Politik dinasti dalam perspektif relasi dialektis habitus-arena Bourdieuan tidak lain adalah strategi dominasi melalui pewarisan serta pengkondisian selera subjek. Selera dan preferensi kaum pendominasi berorientasi pada distingsi sosial demi meraup pengakuan sosial. Upaya membedakan diri ini merupakan bagian dari strategi pelestarian kekuasaan. Selera konsumtif (makanan, budaya, penampilan) tidak lain adalah aktivitas distingsi identitas kelas sosial.
Politik dinasti memaksudkan kecenderungan kelompok tertentu untuk mendominasi suatu ranah kekuasaan. Kelompok ini berusaha mewariskan kompetensi politis kepada anak-cucunya untuk kemudian melanjutkan tahta kekuasaan. Ranah pendidikan menjadi tempat di mana agen suksesi kekuasaan dipersiapkan. Demi pelestarian kekuasaan, keluarga penguasa cenderung mengirim anak-anak mereka ke sekolah atau universitas prestisius untuk menginternalisasi kompetensi politik yang memadai. Bahkan pilihan atas sekolah atau universitas itu sendiri pun bisa dicurigai sebagai bagian dari strategi dominasi yang sedang dimulai.
Bagi Bourdieu, pewarisan semacam ini dipandang sebagai strategi investasi edukatif sekaligus simbolis. Strategi investasi edukatif merujuk pada usaha menghasilkan pelaku sosial yang layak dan mampu menerima warisan kelompok sosial serta memperbaiki jenjang hirarki. Strategi investasi simbolis ialah upaya melestarikan dan meningkatkan pengakuan sosial, legitimasi atau kehormatan melalui reproduski skema-skema persepsi dan apresiasi yang paling cocok dengan properti mereka dan menghasilkan tindakan-tindakan yang peka untuk diapresiasi sesuai dengan kategori masing-masing, misalnya pewarisan nama keluarga.
Ranah pendidikan dengan demikian menjadi potensial dalam meproduksi dan mereproduksi kelompok pendominasi.
Sekolah dan universitas prestisius dengan mudah diakses oleh golongan elite yang mengakumulasi sekian banyak modal. Golongan yang tidak punya akumulasi modal ekonomi terasa sulit untuk masuk ke sekolah-sekolah prestisius. Selain karena kekurangan modal ekonomi, golongan kelas bawah juga sulit masuk ke sekolah-sekolah elite lantaran mereka belum terbiasa dengan habitus ranah pendidikan elite. Kaum kelas bawah juga tidak memiliki jaringan relasi sosial yang memadai untuk akses ke sekolah-sekolah elite. Oleh karena itu, ranah pendidikan potensisal dalam mewariskan kompetensi politik bagi kaum elite.
Produk sistem pendidikan semacam ini memadai bagi rencana politik dinasti, sebab pendidikan hanya “mengabdi” kaum elite. Slogan “pendidikan untuk semua” dalam hal ini tidak lain adalah sebuah bualan besar. Bourdieu menegaskan bahwa ranah universitas berkontribusi dalam mereproduksi struktur kekuasaan. Proyek ini tentu saja problematis bila diterapkan di negara demokrasi seperti Indonesia.
Politik dinasti di Indonesia juga cenderung menggunakan ranah pendidikan sebagai locus strategi pewarisan kekuasaan. Keluarga Soeharto adalah contoh paling dramatis betapa politik dinasti benar-benar eksis di Indonesia. Keluarga dinasti ini dikenal dengan sebutan “Keluarga Cendana”. Prabowo yang menjadi salah satu kandidat calon Presiden perieode 2019-2024 juga, tidak lain adalah menantu Soeharto sendiri. Mantan presiden Indonesia seperti SBY juga mewarisi kompetensi politiknya kepada anak kandungnya, yaitu Agus Harimurti Yudhoyono yang tidak lain adalah bakal calon Gubernur Jakarta yang gagal dalam kontestasi politik di beberapa tahun silam. Megawati juga adalah anak kandung dari presiden pertama Indonesia, yakni Ir. Soekarno. Megawati kini menjadi orang penting bagi partai besar seperti PDIP.
Fenomena politik dinasti juga masih banyak ditemukan di tingkat provisnsi, kabupaten dan bahkan desa di tanah air.
Berkat nama besar keluarga, gelar, kehormatan serta akses pendidikan politik yang memadai, keluarga-keluarga di atas dengan mudah meraup pengakuan massa. Dalam pandangan Bourdieu, kesemuanya itu ialah modal simbolis yang potensial meraup kekuasaan simbolis. Konskuensinya, pemegang kekuasaan dalam wilayah politik hanya datang dari keluaraga yang itu-itu saja.
Dalam panggung perpolitikan modern-kontemporer Indonesia, Jokowi dan Ahok adalah politisi yang tidak datang dari kelompok fenomenal semacam “Keluarga Cendana”. Kedua tokoh ini benar-benar mengandalkan kompetensi politik tanpa dukungan nama besar keluarga. Jokowi hanyalah anak seorang warga biasa di Solo. Ahok adalah sosok pengusaha yang punya passion politik bersih yang sangat tegas. Ahok tidak punya latar belakang keluarga politisi seperti Agus putra SBY.
Untuk menghindarai monopoli kekuasaan oleh keluarga tertentu, masyarakat perlu mengkritisi semua embel-embel nama besar keluarga yang dijadikan modal memadai dalam pelanggengan hegemoni-status quo. Di samping itu, masyarakat juga harus mencurigai ranah pendidikan yang cenderung mengabdi kepentingan golongan elite.