Mohon tunggu...
Konstantinus Jalang
Konstantinus Jalang Mohon Tunggu... Penulis - Penulis adalah Alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana Malang

Berfilsafat dari Bawah

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Mood Setelah Lulus Kuliah

1 September 2020   00:12 Diperbarui: 2 September 2020   16:16 508
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Lulus kuliah tentu saja pengalaman yang membahagiakan. Setiap mahasiswa yang sudah lulus, saya kira pernah mengalami perasaan tersebut. Mahasiswa yang sedang berjuang, pasti sangat merindukan momen 'lulus kuliah'. Peristiwa 'lulus kuliah' merupakan momen spesial dari seorang mahasiswa yang 'benar-benar kuliah'. Lulus seperti buah dari kerja keras sepanjang masa kuliah.

Mahasiswa yang 'lulus' berbeda dengan mahasiswa yang  'lolos'. Mahasiswa yang 'lulus' punya riwayat perjuangan untuk menginternalisasi materi kuliah. Sebaliknya, mahasiswa yang 'lolos' adalah mereka yang dapat gelar tanpa benar-benar kuliah. Para pelagiat bisa masuk dalam kategori yang terakhir. Bagi saya, kelompok yang demikian tidak lebih dari para pengecut yang 'berhala' gelar.

Durasi kuliah sebetulnya tidak menjadi standar penilaian atas kualitas seseorang.  Yang lulus duluan tidak berarti lebih kompeten dari yang lulus kemudian. Standar penilaian semacam itu tidak adil. Internalisasi materi kuliah bukan diukur berdasarkan cepat atau lambat mendapatkan ijazah dan gelar. Bagi saya, kuliah yang baik adalah sejauh mana materi kuliah yang kita dapat telah menjadi pengetahuan yang mewujud. Artinya, pengetahuan itu tidak sebatas ada di kepala, tetapi harus tampak kasat mata. Misalnya, seorang mahasiswa jurusan sastra Jerman perlu menunjukkan identitas intelektualnya dengan menghasilkan cerpen berbahasa Jerman atau menerjemahkan novel berbahasa Jerman ke bahasa Indonesia. Itu lebih kontributif ketimbang sebatas punya gelar. Kalau sekadar omong, orang yang tidak kuliah pun mahir, boss!

Kalaupun ada mahasiswa yang 'enggan' lulus cepat-cepat, mungkin mereka akan bekerja keras untuk mengalami momen spesial 'lulus' di tahun berikutnya. Setiap orang punya dinamika dan tipe berjuang yang khas sejauh mereka benar-benar bekerja keras.

Soal beberapa mahasiswa yang sama sekali tidak sempat lulus, saya yakin, mereka bisa mengalami momen spesial yang namanya 'lulus' dalam konteks yang lain. Pokoknya, setiap perjuangan dan kerja keras yang terbayar oleh pencapaian tertentu adalah sebuah momen 'lulus'.Tetapi, saya di sini membatasi diri untuk secara khusus merefleksikan peristiwa kelulusan dalam konteks perkuliahan. 'Lulus' mengandaikan ada pengalaman jatuh dan bangun dalam berjuang. Jangan sampai, kita menjadi PNS karena gelar yang diperoleh dengan strategi 'lolos'.

Sekali lagi ditekankan, 'lulus' berbeda dengan 'lolos'. Mahasiswa yang 'lolos' biasanya lebih berorientasi pada nafsu memiliki ijazah ketimbang berjuang memahami materi kuliah. Sebaliknya, 'lulus' selalu mengandaikan perjuangan berpikir untuk memahami. IPK dan ijazah dengan demikian sebatas sampah tanpa disertai skill yang konkret.

Teman-teman, pengalaman 'lulus' selalu diperoleh dengan pengalaman 'berkeringat'. Kita wajar berbahagia kalau lulus kuliah. Bahagia karena lulus kuliah adalah reaksi yang sangat manusiawi. Kalau kita sudah berjuang dan berhasil, itu menjadi sesuatu yang sangat berarti untuk hidup kita. Orang bilang, "hasil takkan pernah mengkhianati proses". Andai kata kita sudah berjuang dan belum berhasil, jangan putus asa. Penyesalan dan putus-asa hanya membuang-buang waktu. Tuhan tidak akan membiarkan perjuangan kita tanpa sesuatu yang bermanfaat untuk hidup kita ke depan.

Tetapi, harus diakui bahwa untuk sebagian orang, kebahagian pasca-lulus kuliah tidak akan berlangsung lama. Lulus bukanlah momen final dari sebuah perjuangan dan kerja keras. Justru, lulus kuliah sebatas spasi untuk memulai perjuangan yang baru. Level perjuangan setelah lulus kuliah bahkan jauh lebih berat ketika berada di dalam ruang  kelas kuliah. Di ruang kelas, kita berjuang melawan rasa kantuk, sedangkan di medan kerja, kita berjuang untuk bisa makan hari ini.

Kata seorang sahabat yang sudah lama menekuni satu bidang di dunia kerja, "perjuangan di masa kuliah tidak sebanding dengan perjuangan di medan kerja". Benar juga kata orang ini. Semasa kuliah, kita kadang-kadang berjuang untuk mendapatkan nilai yang sesuai dengan standar kampus. Uang untuk makan sebulan masih bisa kita minta ke orang tua. Hal itu seharusnya tidak terjadi lagi setelah kita lulus kuliah. Kalau kita sudah bekerja, itu artinya kita sudah mampu membiayai hidup kita secara mandiri. Semasa kita kuliah, absen di ruang kelas tidak akan mengurangi jatah bulanan dari orang tua. Sebaliknya, absen di ruang kerja adalah ancaman sadis bagi kelanjutan hidup kita.

Kita pernah 'berkeringat' untuk bisa lulus kuliah. Kita merasa puas dengan hasil studi kita. Lulus kuliah perlu dihayati sebagai momen 'tarik nafas sebentar' untuk memikul beban yang lebih berat. Tetapi, hura-hura dan haru bahagia itu tidak perlu lama-lama. Ingat, lulus dengan predikat "Cum Laude" tidak menjadi standar kita bisa dengan mudah mendapatkan kerja. Mungkin ada beberapa orang beruntung yang langsung ditarik oleh perusahan besar atau lulus PNS. Tetapi, mereka pun harus bertanggung jawab atas kepercayaan tersebut. Jangan sampai, IPK yang melambung tinggi sama sekali tidak mewakili kualitas orang-orang beruntung tersebut.

Saya sering kali berdiskusi dengan beberapa teman yang sudah lama menekuni bidang tertentu di dunia kerja. Sharing yang mereka bagikan kemudian malah menjadi informasi yang menggugat saya secara pribadi. Menurut mereka, materi yang kita pelajari di ruang kelas kuliah sering kali tidak menjawab persoalan konkret di medan kerja.  Mungkin kita punya riwayat intelektual yang mumpuni di kampus, tetapi tanpa keterampilan yang khusus, kita akan sulit berkompetisi. Dunia kerja tidak pernah bertanya berapa IPKmu, tetapi apa skillmu. Pengetahuan yang kita dapat dari kampus sebatas 'bekal' untuk digunakan dalam praksis kerja. Yang dibutuhkan di dunia kerja bukan 'bekalnya', tetapi keterampilan praktis dalam memanfaatkan 'bekal-bekal' tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun