Mohon tunggu...
Lovely Christi Zega
Lovely Christi Zega Mohon Tunggu... Psikolog -

Untuk informasi terkini, terlengkap, dan terpercaya hubungi ketok magic kenalan terbaik anda.... - Pemilik majalah online a-and-o.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pemilihan Pimpinan MPR dan DPR: Haruskah Mega Turun Gunung?

9 Oktober 2014   00:20 Diperbarui: 17 Juni 2015   21:50 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Terpilihnya jajaran pimpinan MPR dan DPR dari pihak Koalisi Merah Putih (KMP) membuat beberapa pihak mengkritik kubu PDIP sebagai motor penggerak Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Melalui proses pemilihan ini, rakyat Indonesia dapat melihat sejauh mana demokrasi yang telah berusaha kita bangun bersama sejak runtuhnya orde baru.

Hal baru yang jelas dapat diamati adalah terbukanya politik dagang sapi. Tawar-menawar kursi dan lobi-lobi berlangsung dengan cukup terbuka dan jelas. Wartawan dapat langsung menanyakan apakah pihak satu akan berpindah ke kubu pihak lain. Proses ini, setidaknya hingga periode pada pemilu sebelumnya, terjadi dibelakang layar.

Politik tetaplah politik. Dinegara dengan sistem demokrasi yang matang dan solid seperti Jerman, misalnya, koalisi tetaplah terjadi. Menengok sejarah Jerman masa kini pada pemilu 2009 lalu partai asal Angela Merkel, CDU, berkoalisi dengan pemenang suara terbesar kedua pemilu, yakni FDP. Pada pemilu 2013 ini kemenangan kembali berpihak pada CDU. Meski demikian, karena pemenang kedua perolehan suara terbesar adalah SPD, maka koalisi setelah pemilu 2013 berganti menjadi koalisi antara CDU dan SPD.

Begitulah politik, begitu cair, dinamis, dan tak pasti. Ada istilah dalam politik bahwa tak ada kawan yang abadi, yang ada hanyalah kepentingan yang abadi. Kembali pada topik tulisan tentang kekalahan PDIP dalam proses pemilihan jajaran pemimpin MPR dan DPR dalam hubungannya dengan peran Mega, benarkah ia harus turut campur dalam proses ini?

Keterlibatan Mega secara tidak langsung dalam peta politik nasional dapat ditarik benang merahnya sejak proses awal pencalonan presiden. Menjadi suatu kecenderungan dalam peta politik di Indonesia bahwa ketua umum partai politik akan menduduki jabatan tertentu entah presiden atau menteri. Hal yang berubah pada pemilu kali ini adalah Mega sebagai ketua partai berlambang banteng hitam tsb tidak mengajukan diri sebagai kandidat presiden, melainkan mengajukan kader PDIP lain sebagai kandidat presiden. Pengajuan Jokowi sebagai kandidat presiden dari PDIP juga merupakan fenomena yang dapat dikatakan baru dinegara kita karena Jokowi bukanlah orang yang berada dalam lingkar inti kepengurusan PDIP. Dapat dikatakan bahwa PDIP merupakan partai yang berusaha menjalankan praktek demokrasi dengan bersikap dinamis dan fleksibel. Selain itu, melalui pencalonan Jokowi juga dapat dikatakan bahwa PDIP mendengarkan aspirasi rakyat.

Tulisan ini berawal dari salah satu artikel Kompas yang berjudul "Kegagalan Megawati Akan Hancurkan Nawa Cita Jokowi-JK...". Salah satu poin dari tulisan ini adalah bahwa Mega kurang mendengarkan aspirasi rakyat. Hal yang perlu dicermati adalah jika Mega memang tidak mendengarkan aspirasi rakyat, maka PDIP yang seringkali dianggap sebagai representasi Mega tidak akan memilih Jokowi sebagai kandidat calon presiden, yang kemudian terpilih menjadi presiden.

Praktek politik demikian, dimana ketua umum partai tidak menjabat posisi strategis sebagai menteri atau presiden, dapat kita lihat di Amerika. Meski partai Demokrat saat ini sedang berada dalam pucuk pemerintahan, yang menjadi ketua partai Demokrat adalah Debbie Wasserman Schultz, bukan Barack Obama. Demikian juga pada partai Republik. Ketua partai ini adalah Reinhold Richard Priebus dan bukan Mitt Romney, kandidat presiden pada pemilu 2012 lalu.

Regenerasi politik ini berlangsung juga pada proses lobi-lobi politik dengan mengutus presiden terpilih langsung, Jokowi, atau wakil presiden terpilih langsung, JK. Atau ketika Prabowo mengajukan gugatan hasil pemilu ke MK, tidak terlihat Mega turut campur secara langsung dalam proses itu dan yang terlihat kader PDIP yang terlibat dalam proses tsb. Selain itu, praktek regenerasi ini juga berlanjut ketika kader PDIP seakan ditinggal "sendirian" untuk "berjuang" memenangkan kursi dalam pemilihan jajaran MPR dan DPR.

Praktek politik demikian mungkin belumlah umum dilakukan dinegara kita. Selain itu, praktek "one man show" sebagaimana yang sering ditunjukkan oleh pemimpin banyak partai membuat kita tidak terbiasa dengan praktek regenerasi politik macam ini. Meski demikian, bukan berarti bahwa Mega harus turun tangan langsung dalam proses politik ditanah air. Praktek regenerasi ini baik bagi perkembangan politik nasional demi tumbuh dan berkembangnya politikus yang matang atau bahkan lahirnya negarawan baru dinegara tercinta ini.

Demokrasi kita memanglah masih baru dan akan terus berkembang. Banyak kalangan khawatir dan kecewa atas sepak terjang anggota dewan dimana anggota dewan sebelumnya mengesahkan pilkada lewat DPRD, sedangkan anggota dewan yang baru saja terpilih justru sejak awal sudah baku hantam demi sebuah posisi. Beginilah hasil proses demokrasi kita sejauh ini. Mengingat sejarah orde baru dimana anggota dewan hanya bertindak 4D (duduk, diam, dengar, duit), maka ada baiknya kita cermati bersama-sama wakil rakyat kita bersama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun