Mungkin inilah ungkapan yang paling tepat dalam menggambarkan kinerja 'civil servant' di tanah air yang sering dikatakan tercinta oleh para pencintanya. Di saat negara tertatih tanpa ada pemasukan devisa, mereka meminta untuk dijadikan prioritas. Jika memang mereka bekerja untuk rakyat, bawalah aspirasi rakyat dan lekas kerjakan. Mereka seharusnya menikmati pekerjaan mulia tersebut. Seluruh nafas rakyat berada di jantungnya. Dan mungkin peringatan ini yang terakhir. Jangan sia-siakan.
Dari sejak berdirinya Indonesia di tahun 45, tidak ada perubahan berarti dalam etos kerja mereka. Mengeluh tanpa kenal lelah, bekerja tanpa ingat waktu. Mungkin seharusnya pegawai negeri tak pernah ada. Mungkin seharusnya yang ada pegawai swasta. Pegawai swasta tentu lebih baik. Bayangkan jika negara kita menjadi swasta, pasti pegawainya juga menjadi pegawai swasta. Dan pada akhirnya kinerja mereka pastinya menjadi kinerja pegawai swasta yang tentunya lebih baik, datang pagi malam gak pulang-pulang.
Kesalahan terbesar yang pernah ada dalam menangani negeri ini adalah ketika membuat label terhadap para pekerja untuk negara ini. Seharusnya bukan pegawai negeri. Label ini memiliki pengertian yang salah, yakni pegawai untuk negeri. Negeri tidak pernah memiliki definisi. Negeri hanya perubahan makna dari negara. Sementara mereka tidak bekerja untuk negara bukan?
Lalu seharusnya mereka bekerja untuk siapa? Untuk mudahnya menjawab pertanyaan ini akan lebih baik kita membuat perandaian. Seandainya Indonesia ini negara islam, yang artinya syariat islam, maka ini akan lebih mudah melakukan pemetaan. Karena dengan demikian pegawai tersebut bekerja untuk surga, dan dengan demikian namanya Pegawai Surga (dapat disingkat PeSur). Pararel, pegawai ini tidak memilki tanggung jawab terhadap umatnya (rakyat disini menjadi umat/ummah). Dan tentunya mereka  bekerja menjadi lebih mudah dan reliable (kosa kata SDM).
Namun bagaimana dengan negara ini yang bukan negara islam dengan syariat islam? Jika kita mengikuti analogi yang dikembangkan diatas maka bisa jadi kita me-nama-kannya Pegawai Pancasila (PP/PeSila). Asumsinya jika dasar negara Indonesia memang Pancasila, dan itupun kalau anda setuju. Sayangnya, inipun sulit diterapkan. Indonesia sudah memiliki Pemuda Pancasila (PP), dan dapat menyebabkan pelanggaran hak cipta berdasarkan aturan TRIPS (WTO). Sebuah nama yang sudah menjadi trademark tak dapat disalahgunakan oleh orang lain. Seandainya dulu Indonesia menyebut Pegawai Negeri dengan Pegawai Pancasila, mungkin kita membuat perjanjian penggunaan nama dengan Pemuda Pancasila dengan 'benefit' tertentu. Namun dengan keadaaan yang sedang morat-marit begini bagaimana mungkin kita bisa  meminjam nama tersebut dari Pemuda Pancasila.
Berangkat dari kesadaran tersebut, seharusnya Pegawai Negeri memahami situasi ini dengan baik. Keuangan yang memang sedang tidak baik harus disambut dengan baik. Kebersamaan untuk sementara waktu juga memilki nilai yang baik, perpisahan belum tentu menambah rejeki anda. Apalagi perpisahan yang memilki intrik-intrik. Akhir kata, tak ada gading yang tak retak, yang retakpun masih laku ...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H