Dewasa ini, segala informasi didapatkan melalui dunia digital, terutama lewat sosial media. Seperti beberapa hari lalu, lewat seorang konten kreator dengan username  di platform TikTok yang kemudian menceritakan kisahnya menjalani FGM (Female Genital Mutilation) semasa kecilnya. Shamsa Araweelo atau lebih dikenal dengan nama akun gardenof.peace, dalam salah satu videonya mendemonstrasikan prosesi FGM dengan menggunakan properti sekuntum mawar putih dengan sebuah silet. Shamsa pada video demonstrasi itu mulai memotong mawar tersebut yang diumpamakan sebagai alat kelamin perempuan sambil menceritakan pengalamannya dipaksa menjalani prosesi tersebut ketika hidup di Somalia, Afrika pada usia 6 tahun.
FGM atau praktik sunat perempuan merupakan salah satu tradisi kelam yang dimiliki oleh beberapa negara berkembang di seluruh dunia, terutama di kawasan Afrika, Timur Tengah, dan Asia. Menurut WHO (World Health Organization), FGM merupakan prosesi pemotongan atau pengangkatan sebagian atau seluruh alat kelamin eksternal perempuan dalam berbagai usia (sekitar usia 4 - 14 tahun) dan dilakukan tanpa alasan medis yang jelas. Ritual ini tentunya mengakibatkan kerusakan fisik yang tidak dapat dipulihkan serta meningkatkan risiko komplikasi kesehatan berat bagi korbannya. Tidak hanya itu, prosesi ini mengakibatkan komplikasi kesehatan mental, trauma, dan bahkan di beberapa kasus menyebabkan kematian.
Tradisi ini dilakukan dengan alasan yang berkisar pada definisi mendasar sosial terhadap feminitas dan seksualitas wanita. Beberapa alasan yang seringkali dikemukakan adalah sebagai bentuk pelestarian tradisi dan budaya, kontrol seksualitas bagi perempuan, norma sosial di beberapa bagian masyarakat, dan keyakinan agama. Walaupun beberapa orang masih meyakini alasan-alasan tersebut, penting bagi kita semua untuk menyadari bahwa tradisi FGM bukanlah tradisi yang patut untuk dipertahankan. Tentunya mengingat bahwa tradisi ini justru membawa komplikasi saja dan tidak ada gunanya. Untungnya, sudah terdapat banyak negara yang mengadopsi undang-undang untuk menolak keras FGM sebagai salah satu bentuk perlindungan terhadap hak asasi perempuan.
Melalui pengalaman penulis yang baru menyadari eksistensi tradisi keji ini lewat platform TikTok, menimbulkan sebuah kesadaran mendalam atas literasi digital di era sekarang. Kemampuan literasi digital menjadi sebuah kemampuan yang wajib dan harus selalu ditingkatkan mengingat segalanya bisa didapatkan lewat internet. Adapun definisi literasi digital menurut Lankshear dan Knobel dalam buku Digital Literacies yaitu kesadaran, sikap, dan kemampuan seseorang untuk memanfaatkan wadah digital untuk memperluas wawasan dan mempergunakan wawasan tersebut dengan sebaik mungkin.Â
Urgensi atas pentingnya literasi digital juga tentu didukung karena manusia semakin bergantung pada teknologi dan internet dalam berbagai aspek kehidupan. Hal ini disebabkan internet menjadi sumber informasi yang melimpah (akurat maupun tidak), sarana komunikasi yang menghubungkan seluruh dunia, bahkan sebagai wadah untuk mengembangkan pendidikan dan karir. Meskipun perkembangan dunia digital yang sangat pesat membawa berbagai dampak positif bagi manusia, namun perlu diingat bahwa perkembangan di era digital juga dapat menjadi senjata dua ujung. Konsekuensi yang ditimbulkan dari perkembangan ini tentunya masif pula, bisa dilihat melalui berbagai fenomena bullying di sosial media, penyebaran berita palsu / hoaks, penyalahgunaan data privasi digital, dan beragam kejahatan lainnya.
Karena itu, kemampuan literasi digital wajib disokong dengan cara berpikir yang faktual dan optimal, dalam kata lain cara berpikir ilmiah. Adib dalam buku Filsafat Ilmu berpendapat bahwa cara berpikir logis memiliki definisi sebagai pemikiran yang berdisiplin dan tidak membiarkan ide serta konsep yang dipikirkan berkelana tanpa arah yang jelas. Kriteria metode berpikir ilmiah pada intinya adalah didukung fakta, bebas dari prasangka, menggunakan prinsip analisis, dan menggunakan hipotesis serta ukuran objektif. Hal ini perlu menjadi landasan dalam berpikir yang harus selalu dijunjung tinggi untuk mencegah kekeliruan dalam mencerna informasi-informasi yang tersedia di dunia digital. Penting sekali bagi kita untuk mempertanyakan segala informasi tersebut (dalam kata lain, berfilsafat) agar mendapat dorongan untuk mencari kebenaran dengan cek fakta informasi terlebih dahulu.
Menilik kembali fenomena FGM yang telah dibahas sebelumnya, hadirnya kasus tersebut sampai sekarang menjadi salah satu contoh bukti nyata betapa pentingnya logika dan cara berpikir ilmiah yang faktual. Terpampang jelas bahwa tidak ada manfaat melakukan prosedur tersebut dan justru sudah dibuktikan secara medis. Namun, masih banyak pihak-pihak di beberapa bagian dunia yang justru menganggap prosedur tersebut penting untuk dijalankan, berlindung dengan alasan ingin mempertahankan tradisi. Jika mengandalkan logika, maka tradisi yang buruk seperti FGM diberhentikan dan ditinggalkan. Tradisi yang seharusnya kita lestarikan dan lanjutkan adalah tradisi-tradisi yang berguna untuk mempertahankan identitas budaya, menghormati lingkungan, mempromosikan persatuan dan solidaritas, dan pastinya mendorong etika dan nilai-nilai positif.
Tentu cara berpikir yang logis ini bisa diaplikasikan dan diimplementasikan dalam kehidupan kita sehari-hari ketika menggunakan internet. Melalui dunia digital, kita bisa memperkaya informasi dan kesadaran akan fenomena-fenomena yang terjadi di berbagai belahan dunia, tetapi perlu diingat bahwa segala informasi yang disuguhkan wajib dianalisis kebenarannya dengan analisis yang teliti. Jangan sampai kita memakai sosial media hanya untuk hiburan saja, baik adanya bagi kita untuk mulai berkarya, mengedukasi masyarakat sekitar tentang berbagai hal penting dan informasi yang teruji pula secara logis. Dengan ini, kita dapat menggunakan dan memanfaatkan era digital untuk kegunaan positif dengan bijak dan maksimal.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H