Poskolonialisme secara umum dipahami sebagai teori, wacana dan istilah yang digunakan untuk memahami masyarakat bekas jajahan. Dalam arti sempitnya Poskolonialisme adalah cara pandang masyarakat yang lebih meningggikan budaya luar atau asing daripada budayanya sendiri. Beberapa mahasiswa, utamanya mahasiswa sastra tentu sudah mengenal kata poskolonialisme dalam setiap materi yang diberikan di bangku kuliah. Namun perlu diketahui juga bahwa poskolonialisme tidak hanya sebatas materi yang digelar dalam dunia pendidikan, akan tetapi lebih kompleks lagi, misalnya dalam dunia olahraga sepak bola.
Sepak bola Indonesia tentu pernah bersinar di Piala Dunia, namun kala itu Indonesia masih menyandang nama Hindia belanda. Bahkan sampai saat ini yang katanya sudah merdeka, masih kita lestarikan budaya kolonial, dalam hal ini melalui sepak bola. Penjajahan sejatinya tidak hanya dilakukan seperti dahulu, tidak dengan perebutan kekuasaan wilayah, mencari rempah-rempah, atau saling mengangkat senjata. Di era modern ini penjajahan dapat dilakukan melalui sepak bola.
Naturalisasi pemain era ketum PSSI Djohar Arifin mulai digerakkan. Hal ini semata-mata guna mendapatkan prestasi secara instan dan berjangka pendek. Tak ayal sejumlah pemain berpaspor asing ramai berbondong-bondong berganti paspor Indonesia dengan tujuan berseragam merah putih. Sebut saja Jhonny Van Beukering, Tobias Waisapy, Rafael Maitimo, Sergio Van Dijk dan Irfan Bachdim. Untuk nama terakhir memang cukup mumpuni, akan tetapi untuk yang lainnya justru dibawah rata-rata pemain asing.
Tak hanya pemain, klub lokal bahkan menggunakan jasa pelatih asing yang berkebangsaan Belanda. Harapannya tentu pemain dan pelatih tersebut dapat berkontribusi untuk klub lokal dan Timnas Indonesia. Namun nyatanya harapan tersebut masih jauh dari kata layak. Jika berfikir secara kritis, tanah air ini masih dihebohkan dengan fenomena 'budaya asing yang lebih hebat'.
Tidak berhenti di situ, logo tim lokal seperti Persibo Bondowoso dan Surabaya United yang cenderung meniru tim sepak bola asal Cataluna, Spanyol yaitu Barcelona. Entah harapannya prestasi kedua tim lokal tersebut dapat secerah Barcelona atau sekedar menarik perhatian sponsor demi finansial klub. Kemudian, nama klub yang dirubah dengan tambahan 'united' seolah menegaskan ingin sehebat tim Kota Manchester merah. Dalam hal ini sebut saja Gresik United, yang awalnya bernama Petrokimia Gresik atau kemudian berubah menjadi Persegres. Kemudian tim asal Jawa Timur, Madura United yang awalnya bernama Persepam. Tidak ketinggalan yaitu Surabaya United yang awalnya bernama Persebaya atau Bonek FC.
Pada kompetisi lokal tanah air (sebelum dibekukan) seperti Liga Djarum Indonesia, Indonesia Super League, dan sekarang Torabika Soccer Championship juga muncul aturan memainkan tiga pemain asing untuk setiap klub saat berlaga 2x45 menit di lapanagan. Tentu hal  ini terkesan memandang pemain asing kualitasnya lebih baik daripada pemain asli Indonesia. Melihat tak semua pemain asing bermain bagus, terkadang mereka masih meminta fasilitas ini dan itu. Kondisi demikian terlihat semena-mena, padahal mereka mencari uang di Indonesia.
Kita tentu masih ingat saat kunjungan Tim Oranye Belanda dalam laga bertajuk laga persahabatan. Indonesia bermain sebagai tuan rumah sedangkan Timnas Belanda bermain sebagai tim tamu. Namun pertandingan yang digelar di Stadion Utama Gelora Bung Karno itu, justru Belanda yang menggunakan jersey home. Hal ini terlihat aneh mengingat Timnas Indonesia lah yang seharusnya mengenakan jersey home. Meski bertajuk laga persahabatan, sesuai statuta sepak bola tertinggi, FIFA bahwa regulasinya adalah tuan rumah harus menggunakan jersey home dan tim tamu menggunakan jersey away. Kemudian sedikit bergeser kepada suporter, publik juga dikejutkan dengan pendukung Timnas yang memilih mengenakan jersey Belanda. Miris memang, sebagian dari mereka justru mengunggulkan Belanda dalam partai tersebut.
Tak hanya dari sisi suporter, para aktor lapangan hijau berlabel Timnas kala itu juga berkomentar ingin bertukar seragam dengan Robin Van Persie yang kala itu sedang naik daun bersama tim London Utara, Arsenal FC.
Dunia sepak bola tak hanya soal bola, pemain, dan lapangan. Bahkan dalam dunia cetak, aktor dan klub sepak bola beserta jajarannya juga dibahas. Namun kembali lagi tidaklah miris saat media cetak memberikan porsi yang cenderung berat sebelah. Kebanyakan media cetak memberikan ulasan sepak bola yang cenderung lebih memilih porsi yang lebih banyak untuk sepak bola luar negeri, utamanya sepak bola dari daratan Eropa. Media tanah air yang sejatinya sebagai penyalur informasi tentunya harus mampu menyajikan berita yang berimbang di setiap kontennya.
Terlepas dari itu semua, masih ada angin segar yang percaya pada potensi bibit muda asli Indonesia. Indonesia U-19 era Indra Sjafri berhasil membuktikannya melalui torehan AFF U-19 ditahun 2013. Bahkan pelatih asal Minang tersebut menyatakan bahwa Indonesia sejatinya tidak kekurangan pemain-pemain berkualitas. Hal ini merupakan fakta mengingat pemain-pemain Indonesia bermain di liga top dunia, sebut saja Tristan Alif Naufal (Trial Ajax dan Liverpool), Jack Brown (Manchester United), Arthur Irawan (Espanyol B), Dedi Kusnandar (Sabah FA), Andik Vermansyah (Selangor FC), Dedi Gusmawan (Zeyar Mya, Myanmar), Kurnia Megia (Pernah Trial Gamba Osaka), Evan Dimas (Nike FC dan Trial Espanyol B) dan masih banyak lainnya.
Oleh karena itu, kita sebagai bangsa Indonesia tentunya harus mampu menghapus poskolonialisme yang terjadi di bumi pertiwi ini, karena sejatinya potensi pemain muda negeri ini tidaklah sedikit. Jadi dimulai dari sekarang hendaknya kita junjung bakat-bakat muda dan prestasi Timnas Indonesia ke arah yang lebih baik. Aturan kompetisi lokal juga harus diperbaharui, seperti mewajibkan 2 atau 3 pemain muda di setiap pertandingan agar para pemain muda tidak hanya menjadi penghias bangku cadangan. Toh, kita juga tidak kalah dengan budaya asing. Buktinya di tubuh Timnas Indonesia yang berlaga di AFF 2016 mayoritas adalah pemain-pemain asli ibu pertiwi yang artinya bukan naturalisasi.