Di Indonesia, batasan umur seolah menjadi suatu keharusan dalam suatu lingkup kerja. Hal ini terlihat dalam setiap iklan lowongan kerja, terutama dari perusahaan teknologi/IT. Seolah, umur adalah indikator canggih yang dapat menjelaskan tentang pribadi dan kemampuan seorang pencari kerja. Umur seolah menjadi indikator etos kerja yang akurat.
Pekerja dewasa tua seolah tidak memiliki potensi yang dapat diperhitungkan sehingga perusahaan enggan untuk merekrutnya atau bahkan enggan hanya untuk mengundangnya datang interview. Ini adalah suatu mindset kekanakan yang mencerminkan betapa sempitnya pola pikir dan wawasan seorang HRD.
Pekerja pemula atau fresh-graduate nasibnya lebih beruntung, walau sebetulnya kategori ini adalah korban para oportunis. Mereka di rekrut hanya karena dapat dibayar murah, bukan karena melihat suatu potensi. Hal inilah yang menyebabkan para pekerja pemula menjadi kutu loncat.
Saat ini, perekrutan menggunakan indikator usia yang hanya didasarkan pada teori usia produktif yaitu antara 25 - 35 tahun. Saya tidak bilang itu salah, tapi saya bilang itu bodoh. Apa dasarnya pada usia tersebut seorang karyawan akan memberikan hasil yang maksimal didalam pekerjaannya? Karena energi masih besar? Itu bullshit. Karena masih memiliki visi yang bagus? Ini sampah. Ada berapa juta karyawan pada usia tersebut yang tidak memiliki visi dalam bekerja?.
Bekerja adalah soal passion. Passion lah yang akan membedakan antara manusia dengan robot. Seorang karyawan yang memiliki passion, akan bekerja lebih baik daripada pekerja tanpa passion. Apakah passion itu ambisi? Bukan. Ambisi adalah bagian dari passion, tapi passion bukanlah ambisi. Passion adalah bagaimana suatu pekerjaan yang dijalaninya dikerjakan dengan hati, bukan dengan pikiran.
Passion tidak mengenal batasan umur. Ada usia muda yang tidak memiliki passion apapun, sebaliknya ada usia tua tapi etos kerjanya melebihi anak muda karena yang bersangkutan memiliki passion yang kuat pada profesinya.
Seorang karyawan yang bekerja tanpa passion atau bekerja seperti robot, mungkin dia bisa di set high productivity, tetapi ada masanya itu akan habis. Inilah dimana usia menjadi persoalan. Perusahaan hanya melihat dari sisi ini, karena dasarnya, perusahaan hanya menginginkan karyawan yang dapat di setir sesuai keinginan mereka. Karyawan menjadi sapi perah, hingga masanya habis, mereka dihabisi juga.
Mungkin alasan perusahaan dalam merekrut usia muda produktif adalah dengan harapan mereka memberikan ide-ide cemerlang atau gagasan jenius yang dapat menunjang performa perusahaan. Tapi parameter ini juga absurd. Tidak ada garansi anak muda akan memberikan sesuatu yang diluar ekspektasi, karena think out of the box adalah persoalan wawasan, visi dan kemampuan individual.
Oleh karena itulah, perusahaan-perusahaan harus mulai membuang indikator umur yang akan menghambat mereka sendiri dalam mendapatkan karyawan yang sesuai dengan bisnis perusahaan. Perusahaan harus mulai menggunakan passion sebagai indikator penerimaan karyawan.(Adw)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H