Mohon tunggu...
Antoni Wijaya
Antoni Wijaya Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis blog, creative writer

Loves writing, reading.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Tatoo, Dianggap Magic dan Menjadi Penanda Saat Holocaust

6 September 2017   13:12 Diperbarui: 6 September 2017   21:44 3992
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Preman! Penjahat! Kriminal! Yap, image tentang tattoo seperti itu pernah muncul dan bahkan sampai sekarang, tattoo ini belum mendapatkan posisi sebagai seni yang diakui sama dengan seni-seni lain seperti seni lukis atau komik. Media tubuh manusia sebagai subyek seni ini masih dipandang sebagai hal-hal yang tidak bisa diterima secara normatif.

Secara historical fiction, tattoo atau rajah ini sudah ada sejak 3.000 tahun sebelum masehi. Tattoo pada saat itu dipercaya sebagai simbol keberuntungan, status sosial, kecantikan, kedewasaan, dan harga diri. Artinya, secara sosial, tattoo ini memiliki nilai yang tinggi terhadap pemilik tattoo.

Pandangan negatif terhadap tattoo ini sendiri bermula karena tattoo ini dianggap merusak tubuh secara fisik, bahkan akan menimbukan penyakit. Dari pandangan religius, tattoo dilihat sebagai perusakan ciptaan Tuhan dan tidak memiliki manfaat sehingga tattoo dianggap sebagai suatu kesia-siaan.

Kemungkinan penyakit yang bisa terjangkit lewat jarum tattoo adalah HIV/AIDS, Hepatitis B dan C. Tetapi jarum suntik yang digunakan didunia kedokteran atau yang digunakan oleh pengguna narkoba juga mempunyai kemungkinan yang sama jika jarum tersebut tidak steril. Kontak cairan dalam tubuh seperti darah mempunyai resiko tinggi dalam penularan penyakit.

Pada saat sekarang, tattoo tetap dianggap sebagai seni yang extraordinary dan bahkan outlaw, tentunya norma masyarakatlah yang membentuk opini tersebut. Tattoo belum menjadi hal yang biasa di dalam masyarakat (baca:Indonesia), karena tattoo bukanlah budaya populer yang applicable.

Disersi, kriminal, budak, dan gladiator
Pada masa Romawi kuno, tattoo digunakan untuk menandai budak-budak yang bekerja untuk kaum kapitalis Roma. Budak-budak ini dirajah tepat di keningnya sebagai tanda budak yang sudah dibayar pajaknya. Selain itu, tattoo juga diwajibkan dirajah di tangan tentara-tentara Roma agar suatu saat ketika mereka desersi (meninggalkan tugas tanpa ijin), mereka mudah dilacak keberadaannya dan kemudian dihukum.

Selain dirajah pada budak, tattoo juga dirajahkan pada para Gladiator Roma. Jika pernah menonton film Gladiator, pada tangan Maximus terdapat tattoo yang bertuliskan S.P.Q.R atau diartikan sebagai anggota senat dan rakyat Roma.

Kaum Kapitalis Roma sendiri pada saat itu tidak merajah tubuhnya dengan tattoo karena tattoo adalah untuk kaum marginal dan budak. Pada tahun 787 Masehi, aktifitas tattoo dilarang karena dianggap sebagai kegiatan paganisme.

Pada masa perang dunia ke-2, tattoo digunakan sebagai tanda identifikasi tahanan di kamp-kamp konsentrasi NAZI pada masa Holocaust, pada masa itu, banyak tahanan-tahanan NAZI yang terjangkit penyakit yang tertular akibat jarum tattoo dan berakhir dengan eksekusi mati.

Pada tahun 80-an, pemerintah Indonesia di bawah rezim Orde Baru melakukan operasi anti-crime dengan cara membantai penduduk yang bertatttoo. Tattoo digunakan sebagai identifikasi terhadap preman, karena pada masa itu, hanya preman yang merajah tubuhnya.

Aktifitas pembantaian terhadap preman ini dilakukan secara diam-diam atau yang kita kenal sebagai Petrus (Penembak Misterius), sehingga pada masa itu, banyak preman yang berramai-ramai menghapus tattoo demi keselamatan jiwanya. Tidak ada data otentik mengenai jumlah korban Petrus ini, karena rata-rata mayat korban dibuang entah kemana, sejauh yang ditemukan adalah berjumlah 10.000 orang dan rata-rata ber-tattoo.

Dari sini kita bisa lihat, bagaimana tattoo di Indonesia adalah merupakan hal yang tidak normatif dan bahkan menjadi pantangan. Sejarah buruk yang ditorehkan oleh preman-preman ber-tattoo pada saat itu membuat masyarakat merasa ketakutan dengan keberadaan individu ber-tattoo. [ADW]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun