Mohon tunggu...
Fitriyah Fitriyah
Fitriyah Fitriyah Mohon Tunggu... -

still learning :D

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Sun Flower

12 Juni 2011   15:41 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:35 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_116185" align="aligncenter" width="425" caption="Sumber Gambar : www.fordesigner.com"][/caption]

Annisa terduduk di atas lantai yang begitu dingin. Dua tangannya yang masih tetap halus mendekap dua kakinya yang mulai meramping. Kepalanya tersandar di atas lututnya yang menekuk telanjang. Matanya sesekali tertutup sedangkan rambutnya dibiarkan terurai.

Baginya, kamarnya kali ini adalah ruang kebebasan, setelah bertahun-tahun terpenjara di balik terali besi tembus pandang. Meski ruangan ini begitu dingin dan sempit, cukuplah bagi Annisa untuk tetap menjelajah dunia dalam alam pikirannya.

Seminggu sudah Annisa berada dalam ruangan ini. Sendirian. Namun, baginya ruangan ini ramai, bahkan terlampau ramai oleh pikirannya yang bergejolak, hingga gendang telinganya seolah akan pecah, hingga untuk tidur nyenyak pun sulit baginya.

Berlebihan jika ia masih saja menangis seperti yang dulu dilakukannya di kamarnya yang hangat. Berlebihan, jika masih saja berteriak meratapi hidup yang begitu sulit dipahaminya. Berlebihan, jika ia masih saja menyalahkan orang lain seperti yang selama ini menjadi pilihannya.

Apa yang terjadi pada Annisa saat ini adalah nyata dan lebih berharga daripada angan semu yang terus menempel di setiap sudut ruang kepalanya. Kondisinya saat ini adalah perwujudan dari salah satu khayalannya. Kata orang, the dream comes true.

Annisa pernah berpikir, hidupnya akan berakhir di pelukan Matahari. Namun, ia juga pernah berpikir bahwa hidupnya akan berakhir tatkala ia duduk di atas kursi panjang bercat putih di tengah lapangan rumput yang begitu luas sambil menunggu matahari terbit dan tenggelam sampai dua matanya yang indah tidak mampu melihat lagi.

“Jangan mendramatisir suasana,” dinding penjara yang kusam seolah berbisik pelahan. Sayang, Annisa tidak mampu lagi mendengar bisikan itu. Hatinya tuli.

***

Pagi ini Annisa ditemani matahari yang menerobos lubang angin. Nanar mata Annisa memandangnya. Sedikit harapan menghangatkan badannya yang semakin dingin.

“Syukurlah, matahari masih mencintaiku...,” bisik bibir Annisa yang mulai mengering diiringi seulas senyum yang begitu lembut. Sementara itu, sipir penjara membawa ransum makanan buat Annisa. Annisa menyantap sarapannya dengan bahagia. Ditemani matahari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun